Selasa 24 Nov 2020 18:23 WIB

Potensi Kerugian Akibat Stunting Capai Rp 260 Triliun

Pemerintah tengah menyiapkan rancangan perpres untuk menurunkan angka stunting.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Friska Yolandha
Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) menimbang berat badan balita saat kegiatan Posyandu balita khusus daerah pedalaman di Desa Matabundu, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat (13/11). Deputi Bidang Pembangunan Manusia Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan permasalahan stunting di Indonesia terjadi hampir di seluruh wilayah dan kelompok sosial ekonomi. Ia menyebut, potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan stunting mencapai 2-3 persen produk domestik bruto (PDB) atau sekira Rp 260-390 triliun per tahun.
Foto: ANTARA/Jojon
Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) menimbang berat badan balita saat kegiatan Posyandu balita khusus daerah pedalaman di Desa Matabundu, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Jumat (13/11). Deputi Bidang Pembangunan Manusia Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan permasalahan stunting di Indonesia terjadi hampir di seluruh wilayah dan kelompok sosial ekonomi. Ia menyebut, potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan stunting mencapai 2-3 persen produk domestik bruto (PDB) atau sekira Rp 260-390 triliun per tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Pembangunan Manusia Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan, permasalahan stunting di Indonesia terjadi hampir di seluruh wilayah dan kelompok sosial ekonomi. Ia menyebut, potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan stunting mencapai 2-3 persen produk domestik bruto (PDB) atau sekira Rp 260 triliun-Rp 390 triliun per tahun. Karenanya, itu menjadi salah satu alasan Pemerintah menargetkan penurunan stunting hingga di angka 14 persen.

“Permasalahan stunting di Indonesia terjadi hampir di seluruh wilayah dan kelompok sosial ekonomi. Potensi kerugian ekonomi mencapai 2-3 persen PDB atau Rp 260 triliun-Rp 390 triliun per tahun,” ujar Subandi seperti dikutip dalam siaran pers Sekretaris Wakil Presiden, Selasa (24/11).

Karena itu juga, pemerintah ingin memastikan program percepatan penurunan angka stunting berjalan sesuai rencana. Pemerintah, kata dia, menekankan setiap proyek penurunan stunting tidak sebatas hanya dikerjakan, tetapi diintervensi lebih tajam.

Penajamannya meliputi jumlah target yang jelas, kualitas yang sesuai standar dan diterima seluruh sasaran, serta dikonsumsi sasaran sesuai ketentuan. “Jadi, bantuan yang diberikan tidak hanya sekedar diterima, tetapi juga harus dikonsumsi (delivered), dan terpenuhi jumlahnya (responsible),” ujarnya.

Saat ini, kata Subandi, pemerintah tengah menyiapkan rancangan Peraturan Presiden untuk menurunkan angka stunting yang mencakup konvergensi penanganan di tingkat pusat, provinsi, hingga desa. Perpres ini nantinya mengoordinasikan berbagai sumber daya sehingga intervensi penurunan stunting benar-benar sampai ke masyarakat.

Ia menambahkan, beberapa hal lain yang perlu didorong, di antaranya, sistem monitoring evaluasi anggaran agar tepat sasaran, pembangunan dashboard untuk mengamati capaian penurunan angka stunting di masing-masing daerah, serta komitmen serius dari kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan wali kota.

“Tantangan yang kita hadapi saat ini tidaklah mudah, terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Butuh kolaborasi lintas sektor, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk swasta dan NGO,” ungkapnya. 

Sebelumnya, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah menjadikan pencegahan stunting sebagai prioritas pembangunan. Staf Khusus Wakil Presiden yang juga Sekretaris Eksekutif Ad Interim Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto berharap, pemda mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mobilisasi pencegahan stunting.

“Dengan komitmen yang kuat kepala daerah saya optimistis target penurunan prevalensi stunting hingga angka 14 persen di tahun 2024 mendatang dapat tercapai,” ujar Bambang Widianto saat membuka Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024 di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Selasa (24/11).

Bambang menyebut, hingga saat ini, secara bertahap program percepatan pencegahan stunting telah dilakukan 260 di kabupaten/kota prioritas. Ia mengatakan, sudah 258 kepala daerah dari wilayah prioritas tersebut telah menandatangani komitmen untuk melakukan percepatan pencegahan stunting di wilayahnya. 

Karenanya, Bambang berharap, komitmen tersebut dapat direalisasikan dengan menjadikan pencegahan stunting sebagai prioritas pembangunan di wilayahnya.

Pemerintah pusat, lanjut Bambang, telah menyalurkan beberapa program kepada pemerintah daerah melalui berbagai mekanisme. Total dana yang dialokasikan untuk program dan kegiatan yang dikelola oleh kementerian dan lembaga pada 2019 adalah sebesar Rp 29 triliun, sedangkan pada 2020 adalah sebesar Rp 27,5 triliun.

Hasilnya, kata Bambang, setelah tiga tahun pelaksanaan program, kemajuan di tingkat outcome sudah dapat terlihat. Ia mencontohkan, dalam Survei Status Gizi Balita Indonesia pada 2019 yang menunjukkan bahwa prevalensi stunting turun, dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 27,7 persen pada 2019 atau turun sekitar 3,1 persen.

“Jika ditarik lebih jauh dari 2013, maka rata-rata penurunan adalah sebesar 1,6 persen per tahun,” katanya.

Sedangkan, hasil perhitungan Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS) oleh BPS dengan menggunakan enam dimensi dan 12, indikator yang terkait erat dengan stunting juga menunjukkan bahwa ada kenaikan IKPS sebesar 2,1 dari tahun 2018 sebesar 64,48 menjadi 66,6 pada 2019. Perbaikan yang cukup siginifikan adalah pada dimensi gizi dan perumahan yang meliputi cakupan sanitasi dan air minum.

“Kemajuan dan capaian selama tiga tahun terakhir Ini harus diapresiasi karena hal ini tidak akan terjadi tanpa kerja keras seluruh pihak, dari tingkat pusat hingga daerah dan desa,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement