Selasa 24 Nov 2020 17:51 WIB

Hama Lalat Buah Jadi Hambatan Ekspor Mangga ke Jepang

Petani mangga gedong gincu berharap dapat memasuki pasar Jepang.

Mangga varietas gedong gincu. Petani Cirebon sudah memasarkan mangga gedong gincu hingga ke Timur Tengah, namun belum bisa menembus pasar Jepang.
Foto: Kementerian Pertanian
Mangga varietas gedong gincu. Petani Cirebon sudah memasarkan mangga gedong gincu hingga ke Timur Tengah, namun belum bisa menembus pasar Jepang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hama lalat buah menjadi tantangan tersendiri bagi petani mangga gedong gincu asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Akibat lalat buah, komoditas khas wilayah itu sulit menembus pasar Jepang.

"Lalat buah ini seperti rumput, ketika musim hujan datang, maka tambah subur," kata petani mangga gedong gincu, Samin, di Cirebon, Selasa.

Baca Juga

Samin yang tergabung pada kelompok petani buah Samboja menuturkan, ketika buah mangga sudah diserang lalat buah maka akan sulit diselamatkan. Buah bisa cepat membusuk.

Menurut Samin, ada beberapa langkah pengendalian hama lalat buah, di antaranya menggunakan pestisida. Akan tetapi, ini menjadi kendala ketika akan di ekspor ke Jepang.

Selain pestisida, menurut Samin, ada pula perangkap untuk menjebak lalat buah. Hanya saja, para petani sering terlambat, karena dipasang ketika sudah ada tanda-tanda serangan.

"Alat perangkap bermanfaat tapi terlambat, seharusnya dipasang sebelum terserang," ujarnya.

Sementara itu, pengekspor buah mangga asal Kabupaten Cirebon Ahmad Abdul Hadi mengatakan, mangga gedong gincu memang sudah menembus beberapa pasar luar negeri. Pasar utamanya ialah Timur Tengah.

"Kami sudah mengekspor ke sana dari beberapa tahun lalu," kata Hadi.

Menurut Hadi, sulit bagi mangga gedong gincu khas Cirebon untuk menembus pasar Jepang. Sebab, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, salah satunya ialah terbebas dari lalat buah.

Hadi menyebut, sampai sekarang belum juga ditemukan formulasi untuk mengatasi tantangan tersebut. Padahal, ketika bisa tembus ke Jepang, maka akan sangat menguntungkan bagi para petani.

"Karena harga yang ditawarkan di Jepang itu lebih tinggi, bahkan per satu kilogramnya dibanderol hingga Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu. Tapi kami belum tembus juga," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement