Selasa 24 Nov 2020 05:16 WIB

Webinar Mushida Kupas Pendidikan Tinggi Kepengasuhan Putri

Ada lima tantangan pendirian perguruan tinggi kepengasuhan putri.

Muslimat Hidayatullah (Mushida) menggelar webinar ke-1  pra-Munas, membahas tentang peluang dan tantangan pendidikan tinggi kepengasuhan putri, Ahad (22/11).
Foto: Dok Mushida
Muslimat Hidayatullah (Mushida) menggelar webinar ke-1 pra-Munas, membahas tentang peluang dan tantangan pendidikan tinggi kepengasuhan putri, Ahad (22/11).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Dalam rangkaian pra Musyawarah Nasional V Muslimat Hidayatullah (Mushida), organisasi kewanitaan ini menggelar webinar pertama dari sejumlah webinar yang diagendakan. Webinar perdana yang diadakan pada hari Ahad (22/11) mengusung tema “Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Kepengasuhan Putri”. Tidak tanggung-tanggung, seminar online ini dihadiri oleh lebih dari 1.000 peserta dari berbagai penjuru negeri.

Ada tiga tokoh pendidikan yang menjadi pembicara di seminar ini, yaitu Ustadz Miftahuddin, MSi  (ketua Departemen Pendidikan Tinggi dan Penelitian Pengembangan DPP Hidayatullah), Dr  Sulistianingsih  SKM, MKes (wakil Sekretaris Majelis Dikti Pimpinan Pusat 'Aisyiyah yang juga dosen Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta), dan Dr  Sabriati Aziz MPdI (Presidium Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia/BMOIWI). Webinar ini dimoderatori oleh Ina Choeriyati SAg, MPdI.

Ketiga pemateri tersebut memaparkan peluang dan tantangan dalam pendirian institut pendidikan tinggi dengan konsentrasi di kepengasuhan putri dari sudut pandang keahlian dan latar belakang masing-masing.

Pada sesi pertama, Ustadz Miftahuddin membahas secara detail tentang prospek dan daya saing perguruan tinggi Islam (PTI). Materi yang disampaikan tersusun secara padat, dengan penjelasan mengenai grand design pendidikan tinggi Islam, kerangka konseptual perkaderan kepengasuhan, alur proses kepengasuhan, sampai dengan pola kepengasuhan. Ia menguraikan setidaknya ada empat tantangan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi Islam.

Pertama, modernitas kelembagaan. PTI diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi institusi modern, yang juga tetap dapat memegang kuat akar dan nilai-nilai Islam. “Sebuah pesantren atau pendidikan Islam itu tidak hanya membuka program pendidikan studi Alquran, Al-Hadits, sirah, serta ilmu turunannya, tetapi (juga membuka) ilmu kedokteran, ilmu teknologi, itu menjadi sebuah tuntutan,” ujarnya pada webinar yang disiarkan live streaming di kanal Youtube Hidayatullah Id. Sebagaimana juga, kata ia,  dalam pendidikan tinggi umum yang berfokus pada keilmuan umum yang pada akhirnya juga mengkaji tentang keilmuan keislaman.

Tantangan kedua, tambah Miftahuddin, PTI sepatutnya dapat melahirkan lulusan Muslim paripurna yang berkualitas, memiliki daya saing, dan menguasai iptek.

Ketiga, terkait peningkatan mutu kelembagaan, sehingga terwujud PTI yang terbuka, modern, empiris-kontekstual, dan produktif. Terakhir, PTI perlu melahirkan pemikiran Islam paripurna (syamil-kamil) melalui pengembangan dialog antarbangsa.

Di sesi selanjutnya, Dr  Sulistianingsih  menyebutkan ada lima tantangan yang dihadapi dalam pendirian perguruan tinggi kepengasuhan putri.

Pertama, kata dia, belum adanya nomenklatur dalam bidang terkait kepengasuhan putri. Hal ini katanya butuh waktu untuk mewujudkannya, karena memang belum ada rujukannya secara internasional. Ini juga menjadi peluang karena banyak sekali prodi baru sekarang yang memang menjadi kekhasan Indonesia. “Ini tantangan sekaligus peluang yang bisa dilakukan oleh Muslimat Hidayatullah untuk bisa mewujudkan perguruan tinggi kepengasuhan putri ini,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Tantangan kedua berkaitan dengan revolusi industri. Perguruan tinggi perlu beradaptasi dalam hal penggunaan teknologi, interaksi manusia dengan mesir, penggunaan data dan komunikasi, serta digitalisasi dalam aktivitas dan prasarana perguruan.

Ketiga, perguruan tinggi juga diharapkan memiliki sistem penjaminan mutu internal yang dapat diterima secara eksternal oleh Badan Akreditasi Nasional dan dari lembaga akreditasi internasional. Tantangan berikutnya adalah pengembangan sumber daya dosen dan tenaga kependidikan, juga kondisi pandemi Covid-19 yang membuat adaptasi dalam berbagai bidang menjadi diperlukan.

Pada sesi terakhir Dr  Sabriati Aziz, presidium BMOIWI yang juga Anggota Majelis Penasihat Mushida memaparkan visi dan misi Mushida dan latar belakang rancangan pendidikan tinggi kepengasuhan putri Hidayatullah. Potensi besar dari sekolah pada jenjang SD sampai SMA Hidayatullah, serta perbandingan yang cukup signifikan antara santri dan pengasuh di Pesantren Hidayatullah menunjukkan kebutuhan yang besar terhadap pendidikan tinggi kepengasuhan.

Sabriati selanjutnya memaparkan visi dan misi, serta tujuan dari perguruan tinggi. Permasalahan pendidikan dan kepengasuhan putri di pesantren, menurut dia, terletak pada setidaknya empat hal, yaitu lemahnya integrasi kurikulum antara pendidikan di asrama dan kelas, profesionalitas, serta belum adanya kurikulum dan perguruan tinggi dengan jurusan kepengasuhan pesantren. “Ini juga menjadi satu hal yang perlu kita seriusi (untuk disikapi),” ujarnya.

Sabriati juga menyebutkan setidaknya ada empat peluang prodi pada pendidikan tinggi kepengasuhan, yaitu PGTK, PGSD, kepengasuhan asrama, dan pendidikan keluarga.

Pemaparan ketiga pemateri tersebut menggambarkan bahwa tantangan yang ada dalam pendirian perguruan tinggi kepengasuhan putri dapat dihadapi dengan perencanaan yang baik, serta banyaknya peluang dari pendirian perguruan tinggi ini sepatutnya mendorong realisasinya dalam waktu dekat.

Organisasi Muslimat Hidayatullah (Mushida) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) kelima pada penghujung tahun ini, tepatnya tanggal 11-12 Jumadil Uula 1442/26-27 Desember 2020.

Perhelatan akbar lima tahunan itu kali ini akan digelar secara virtual karena berlangsung di tengah pandemi, dengan mengusung tema "Meneguhkan Integritas Muslimah Demi Tegaknya Peradaban Islam".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement