Ahad 22 Nov 2020 21:00 WIB

Pakar: Peta Zona Risiko Jangan Sampai Bias

Jika jumlah testing tak memadai, maka peta zonasi risiko tak gambarkan kondisi riil.

Warga menjalani tes usap atau swab test di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Senin (2/11/2020). Tanpa dukungan jumlah testing yang memadai, maka peta zonasi risiko tidak dapat menggambarkan situasi pandemi.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Warga menjalani tes usap atau swab test di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Senin (2/11/2020). Tanpa dukungan jumlah testing yang memadai, maka peta zonasi risiko tidak dapat menggambarkan situasi pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan Covid-19 Hidayatullah Muttaqin mengatakan, peta zona risiko Covid-19 tak boleh sampai bias. Ia tak ingin peta tersebut malah tidak menggambarkan situasi pandemi mendekati kondisi riil.

Baca Juga

"Tanpa dukungan jumlah testing yang memadai, maka peta zonasi risiko tidak dapat menggambarkan situasi pandemi," ujar Muttaqin di Banjarmasin, Ahad (22/11).

Menurut Muttaqin, keberadaan peta yang menggambarkan kondisi dan situasi pandemi sangat penting bagi pusat dan daerah dalam rangka monitoring dan evaluasi. Peta zonasi juga penting karena mudah dipahami masyarakat umum dengan melihat warnanya. Hanya saja, persoalan utama dalam penggambaran kondisi pandemi di tiap-tiap daerah adalah lemahnya testing Covid-19.

Menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ungkap Muttaqin, jumlah sampel tes PCR yang harus diambil adalah satu per seribu penduduk (1/1.000) setiap pekannya. Sementara pada tingkat nasional pada pekan IV Oktober baru mencapai 63 persen dari standar WHO.

Pada pekan I dan II November jumlah tes sebanyak 67 persen dan 86 persen dari standar. Muttaqin menyebut, permasalahannya adalah jumlah tes PCR nasional tersebut tidak merata di setiap daerah.

Misalnya, pada pekan II November, dari 233 ribu orang yang dites sebanyak 74 ribu di antaranya adalah penduduk Jakarta. Bahkan, secara kumulatif dari hampir 3,5 juta orang yang sudah menjalani tes PCR sebanyak 43 persen disumbangkan oleh provinsi DKI Jakarta.

Banyak daerah di Indonesia mengalami penurunan angka testing sejak bulan Agustus hingga saat ini. Parahnya, penurunan tes PCR tersebut terjadi di tengah peningkatan kapasitas laboratorium.

"Ada indikasi penurunan tes PCR terkait momen pilkada. Akibatnya, tentu saja laju tambahan kasus baru di daerah tersebut cenderung menurun sehingga peta zonasi risiko dapat menjadi bias," katanya.

Muttaqin mengatakan, untuk penurunan kasus baru dan pengendalian pandemi, diperlukan peningkatan tes PCR terhadap penduduk hingga memenuhi syarat WHO dan dilakukan secara konsisten. Ia menyebut, memang pada tahap awal langkah ini berpotensi mendorong lonjakan kasus karena menyebabkan semakin banyaknya penduduk yang terdeteksi terinfeksi.

Namun, dengan data yang semakin valid, peta zonasi risiko lebih mendekati kondisi riil. Dengan begitu, peta zonasi akan bisa diandalkan dalam kebijakan memangkas angka pertumbuhan kasus baru ke depannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement