Ahad 22 Nov 2020 11:20 WIB

Ribuan Warga Paris Memprotes Rencana Kriminalisasi

Prancis akan mengkriminalisasi siapa pun yang sebarkan foto atau wajah petugas polisi

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Ribuan pengunjuk rasa menyemut ke jalan-jalan di Paris untuk memprotes rancangan undang-undang baru yang diusulkan, Sabtu (21/11) waktu setempat.
Foto: EPA
Ribuan pengunjuk rasa menyemut ke jalan-jalan di Paris untuk memprotes rancangan undang-undang baru yang diusulkan, Sabtu (21/11) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Ribuan pengunjuk rasa menyemut ke jalan-jalan di Paris untuk memprotes rancangan undang-undang baru yang diusulkan, Sabtu (21/11) waktu setempat. Undang-undang tersebut akan mengkriminalisasi siapapun yang menyebarkan foto atau video yang memuat wajah petugas polisi.

Para pengunjuk rasa berkumpul di Esplanade of Human Rights di Trocadero. Mereka meneriakkan "Kemerdekaan!" dan membawa plakat bertuliskan "Tidak untuk polisi negara".

Baca Juga

RUU keamanan tersebut diperdebatkan pada Selasa lalu oleh anggota parlemen Prancis. RUU itu akan menjadi dakwaan kejahatan bagi siapa saja, termasuk jurnalis dan warga sipil, yang membagikan foto petugas polisi kecuali wajah mereka telah diburamkan.

Selain itu, menerbitkan foto ke media sosial dengan maksud untuk merusak integritas fisik atau psikologis petugas yang sedang bertugas dapat dihukum. Hukuman itu bisa berupa penjara satu tahun atau denda hingga 45 ribu euro.

Reformasi hukum, yang diajukan oleh pemerintah sentris Presiden Emmanuel Macron pada Oktober, memicu protes di kota-kota di Prancis, termasuk Paris, Lyon, Bordeaux, dan Marseille. Reformasi itu juga menuai kritik dari organisasi hak asasi manusia dan jurnalis. Mereka memandang RUU yang diusulkan adalah alat untuk mencekik kebebasan pers dan merusak pemeriksaan terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi. Mereka juga berpendapat susunan kata dalam RUU itu terlalu kabur.

"Jika undang-undang semacam itu diberlakukan sebagaimana adanya, itu menjadi pelanggaran serius atas hak atas informasi, untuk menghormati kehidupan pribadi, dan kebebasan berkumpul secara damai, tiga syarat yang bagaimanapun penting untuk hak atas kebebasan ekspresi," kata Amnesti Prancis dalam sebuah pernyataan di situs web mereka sebelum debat parlemen dikutip laman Euro News, Ahad.

"Ini dapat berkontribusi pada budaya impunitas yang pada akhirnya merusak citra polisi dan berkontribusi untuk merusak ikatan kepercayaan yang diperlukan antara polisi dan penduduk," tambah pernyataan itu.

Tindakan tersebut, yang merupakan amandemen undang-undang yang ada, telah dibandingkan dengan undang-undang serupa yang sudah berlaku di Spanyol sejak 2015. Parlemen Prancis menolak proposal serupa awal tahun ini.

Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengatakan Pasal 24 diperlukan untuk melindungi mereka yang melindungi negara. Hal ini juga dilakukan setelah adanya laporan bahwa petugas polisi semakin menjadi sasaran dan diancam.

Bulan lalu, sebuah kantor polisi di Champigny-sur-Marne, di pinggiran tenggara Paris, diserbu massa yang bersenjatakan kembang api dan batang logam. Pengawasan polisi Prancis, termasuk penggunaan kekuatan yang berlebihan, telah meningkat setelah serangkaian insiden direkam dalam video dan dibagikan ke platform media sosial.

Salah satu insiden tersebut adalah kematian pengemudi pengiriman Paris, Cedric Chouviat, ayah lima anak berusia 42 tahun, pada Januari. Dalam adegan yang mengingatkan pada kematian George Floyd dalam tahanan polisi di Amerika Serikat, Chouviat terdengar mengatakan "Saya tercekik" saat tujuh petugas polisi menahannya dalam rekaman yang menjadi viral. Tiga petugas didakwa melakukan pembunuhan pada Juli sehubungan dengan kematiannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement