Ahad 22 Nov 2020 00:05 WIB

PBB Respons Penangkapan Anak-Anak oleh Prancis

Prancis menangkap empat anak dengan tuduhan terorisme

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Logo PBB (ilustrasi)
Foto: VOA
Logo PBB (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengatakan penangkapan anak-anak harus menjadi pilihan terakhir. Penahanan juga harus dilakukan dalam waktu yang singkat.

Juru bicara OHCHR Marta Hurtado mengatakan penahanan anak-anak juga harus mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak. Ia menjelaskan hal itu sudah diatur Konvensi Hak Asasi Manusia.

Baca Juga

"Prinsip-prinsip ini sudah ditetapkan Konvensi Hak Asasi Manusia untuk Anak-anak, serta Komentar Umum Komite Hak Anak Nomor 24 mengenai hak anak di tempat penahanan," katanya pada media Turki, Anadolu Agency, Sabtu (21/11).

Pernyataan itu merespons pengalaman empat anak berusia 10 tahun yang ditahan polisi Prancis di Albertville. Berdasarkan wawancara dengan orang tua mereka, anak-anak tersebut dituduh 'memaafkan terorisme'.  

Tiga dari empat anak yang ditahan itu keturunan Turki sementara satu orang lainnya keturunan Aljazirah. Di sekolah, mereka mengatakan tidak senang dengan kartun Nabi Muhammad yang dianggap penistaan oleh muslim.

Guru mereka di  Louis Pasteur Elementary School menilai pernyataan mereka 'memaafkan tindak terorisme'. Guru itu pun melaporkan para siswa ke polisi. Hurtado mengatakan pelapor khusus dan pakar hak asasi manusia yang bekerja dengan OHCHR sudah berulang kali menegur undang-undang anti-terorisme Prancis.

"Di masa lalu mekanisme hak asasi manusia PBB sudah pernah mengungkapkan kekhawatiran dakwaan 'memaafkan tindak terorisme' Prancis mungkin membatasi kebebasan berekspresi dan telah digunakan secara berlebihan terhadap anak-anak," kata Hurtado.

"Strategi yang melibatkan anak-anak seharusnya fokus pada tindak pencegahan dan integrasi, dengan respon yang ramah anak dan multidisiplin, hal ini penting terutama berdampak serius pada pengalaman anak-anak," ujarnya.

Para pakar menilai 85 persen kasus yang berkaitan dengan terorisme berdasarkan penegakan hukum 'memaafkan tindakan terorisme' berdampak pada perlindungan kebebasan berekspresi dalam demokrasi yang kokoh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement