Jumat 20 Nov 2020 20:15 WIB

Revisi UU Polri: Bentuk Evaluasi Kinerja Polisi

Masyarakat sipil harus peka memberikan kritik terhadap kinerja kepolisian.

 Anggota Kepolisian sedang bertugas. ilustrasi
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Anggota Kepolisian sedang bertugas. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sistem negara demokratis, kepolisian merupakan lembaga yang memiliki peran penting. Kepolisian mengemban tugas sesuai dengan aturan hukum dan undang-undang. Hal ini dilakukan agar kinerja polisi tidak didasarkan kehendak penguasa. Kemudian, kepolisian juga diberikan wewenang untuk menggunakan kekerasan guna memastikan supremasi hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

Pada sistem demokrasi, polisi juga harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Karena itu, setiap tindakan kepolisian harus profesional dan akuntabel serta terdapat pengawasan. Namun, implementasi di Indonesia menunjukkan adanya permasalahan kerja-kerja kepolisian.

Pertama, penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh Polri sejatinya justru menunjukkan arogansi dan tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mengutip laporan Kontras selama setahun ini, tindak kekerasan dilakukan pihak kepolisian kepada mereka yang berunjuk rasa dan menyampaikan pendapat.

Merujuk pada UUD 45, penyampain pendapat adalah hak semua orang dan harus mendapat perlindungan. Akan tetapi, pada implementasinya sering kali penanganan aksi unjuk rasa justru mendapat perlakuan secara represif dari polisi.

Persoalan kekerasan ini bukan dilakukan oleh satu atau dua orang oknum polisi saja, akan tetapi memiliki pola yang terstruktur dan sistematis. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan cita-cita dari Presiden Jokowi yang berkomitmen memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat dan mengutuk keras tindak kekerasan aparat di 2012. Di sisi lain, juga terdapat masalah ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian.

Kedua, pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aturan perundang-undangan tidak diselesaikan secara tuntas. Dampaknya adalah ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian. Dalam hal ini, terlihat dari watak anggota kepolisian yang justru terkesan brutal pada penanganan perkara. Hal ini akibat dari tidak adanya pengawasan terhadap kinerja kepolisian.

Pengawasan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat sipil berupa citizen journalism tidak pernah ada tanggapan terkait dengan penantaan kelembagaan di lingkungan Polri. Pelanggaran demi pelanggaran menunjukkan pemahaman Polri terhadap fungsinya sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat masih rendah. Padahal pada negara demokratis sudah seharusnya kepolisian mewujudkan kepercayaan publik melalui pelaksanaan tugas yang sesuai peraturan dan masukan dari masyarakat.

Ketiga, pada konteks tertentu kinerja kepolisian banyak mendapatkan kritikan dari masyarakat. Salah satunya adalah keberadaan perwira kepolisian dalam jabatan publik seperti era Presiden Soeharto.

Setidaknya di tahun 2020 terdapat tiga perwira tinggi Poliri yang mengisi jabatan di luar kepolisian, yaitu: Komjen Andap Budhi Revianto sebagai Inspektur Jenderal Kemenkumham; Irjen Reinhard Silitonga sebagai Dirjen Pemasyarakatan; Komjen Antam Novambar sebagai Plt. Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal ini menunjukkan pengisian jabatan publik oleh anggota Polri yang masih aktif sebagai ketidaksesuaian terhadap cita-cita reformasi. Selain itu, juga membuat adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang akibat rangkap jabatan.

Permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan tersebut sejatinya harus dikembalikan dalam koridor peraturan perundang-undangan. Sesuai dari fungsi kepolisian yang tunduk terhadap undang-undang. Dalam hal ini, diperlukan adanya revisi UU. Polri No.2 2002 sebagai jawaban atas permasalahan kepolisian.

UU Polri sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan di masa kini serta juga adanya kritik terhadap kedudukan Polri pada sistem pemerintahan. Salah satunya yang tertera pada Pasal 8 yang menyatakan kedudukan Polri langsung berada di bawah Presiden.

Kedudukan tersebut memiliki implikasi secara politik bahwa Polri memiliki kekuasaan yang sangat besar dan juga tidak adanya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh instansi lain. Selain itu dalam konteks politik anggaran, Polri sangat rawan menyalahgunakan anggaran akibat tidak adanya pengawasan. Maka, diperlukan adanya revisi mengenai kedudukan Polri agar tidak mencipatkan kekuasaan yang besar dan penyalahgunaan wewenang.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement