Kamis 19 Nov 2020 06:05 WIB

Hasil RDG BI Jadi Momentum Rupiah di Bawah Level Psikologis

Rupiah Rabu (18/11) sore kemarin ditutup melemah posisi Rp 14.070 per dolar AS.

Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Central Capital Futures Wahyu Laksono menilai hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada hari ini, Kamis (19/11) bisa menjadi momentum penguatan rupiah menembus ke bawah level psikologis. Level psikologis rupiah yakni di posisi Rp 14.000 per dolar AS.

"Besok (hari ini, red) masih ada kecenderungan reject di Rp 14.000 atau agak di Rp 14.100 lagi. Tapi hitungan saya setelah RDG itu bisa jadi pintu masuk atau momentum untuk tembus ke Rp 14.000. Jadi weekend ini saya pikir bisa jadi ada tembusan ke Rp 14.000," ujar Wahyu di Jakarta, Rabu (18/11).

Baca Juga

Rupiah Rabu (18/11) sore kemarin ditutup melemah 15 poin atau 0,11 persen ke posisi Rp 14.070 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.055 per dolar AS. Rupiah pada pagi hari dibuka stagnan di posisi Rp14.055 per dolar AS. Sepanjang hari, rupiah bergerak di kisaran Rp 14.055 per dolar AS hingga Rp 14.095 per dolar AS.

Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia pada Rabu (18/11) menunjukkan rupiah melemah menjadi Rp 14.118 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya di posisi Rp 14.073 per dolar AS.

"Rupiah dalam beberapa hari terakhir sudah dua kali testing Rp 14.000 dan sangat malu-malu ya untuk menyentuh level Rp 14.000," kata Wahyu.

Menurut Wahyu, momentum penguatan rupiah sebenarnya cukup terbuka karena secara global dolar AS sedang melemah. "Bukan hanya bicara second wave tapi juga sudah bicara third wave di AS dan Eropa. The Fed juga sepertinya agak risau dengan masalah politik di Amerika yang gak jelas masalah stimulusnya," ujarnya.

Wahyu menuturkan masalah stimulus menjadi perhatian besar bagi bank sentral AS tersebut karena dikhawatirkan akan mengancam pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam. Bank Sentral Eropa (ECB) sendiri masih akan menambah stimulusnya.

"Jadi bank sentral Eropa dan Amerika ini masih bicara stimulus. Asia lebih baik saat ini dibandingkan Eropa dan Amerika. China, dia yang memulai justru dia yang mengakhiri duluan. Jadi China dan Asia termasuk Indonesia ini angka Covid-nya masih lebih baik lah, masih relatif tidak menyeramkan seperti mereka," kata Wahyu.

Hal tersebut, lanjut Wahyu, membuat mata uang Asia dan negara berkembang lebih baik, walaupun rupiah masih tertahan di level Rp 14.000 per dolar AS.

"Sahamnya juga menguat di saat semalam atau sebelumnya bursa di Amerika agak tertekan. Misalnya retail sales-nya jelek atau third wave tadi sudah mengemuka, di Indonesia hari ini sahamnya bagus. Asia sahamnya bagus, bahkan Nikkei rekor baru dalam beberapa dekade ini," ujar Wahyu.

Bank Indonesia pun diprediksi masih wait and see mengingat kondisi ekonomi dan politik domestik relatif masih bagus. Terkait Covid-19 sendiri juga dinilai masih relatif terkendali.

"Jadi saya fikir bank sentral masih wait and see karena dia sedang mendapat angin, arus modal sedang masuk besar ke capital market saham kita. Jadi kayaknya nunggu besok Kamis. Jadi minggu depan atau akhir pekan, tembusannya ini mungkin ada gongnya," kata Wahyu.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement