Rabu 18 Nov 2020 19:03 WIB

Vaksin Merah Putih Vs Vaksin Asing, Mana Lebih Baik?

Platform pengembangan Vaksin Merah Putih dan vaksin asing seperti Sinovac tidak sama.

Sejumlah relawan antre untuk di vaksin  pada simulasi vaksinasi Covid-19 di Puskesmas Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/11). Indonesia memiliki kebijakan paralel pengadaan vaksin, yaitu mengembangkan Vaksin Merah Putih produksi dalam negeri dan mencari sumber vaksin dari luar negeri seperti Sinovac.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Sejumlah relawan antre untuk di vaksin pada simulasi vaksinasi Covid-19 di Puskesmas Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/11). Indonesia memiliki kebijakan paralel pengadaan vaksin, yaitu mengembangkan Vaksin Merah Putih produksi dalam negeri dan mencari sumber vaksin dari luar negeri seperti Sinovac.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Inas Widyanuratikah, Antara

Dunia berlomba-lomba mengembangkan vaksin Covid-19 yang paling efektif dan aman. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang mengembangkan sendiri vaksin Covid-19 dengan nama Vaksin Merah Putih.

Baca Juga

Lembaga Eijkman bahkan menyebut Vaksin Merah Putih produksinya bisa lebih efisien saat disuntikkan karena produksinya menggunakan protein rekombinan. "Mudah-mudahan protein rekombinan yang lebih sulit dibuat bisa lebih efisien daripada vaksin (yang dikembangkan dengan basis lain) yang harus diberikan beberapa kali. Kami berharap vaksin merah putih dapat digunakan dengan baik di Indonesia," kata Deputi Fundamental Research Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Herawati Sudoyo-Supolo saat berbicara di konferensi virtual FMB9 bertema Vaksin dan Pembangunan Kesehatan Indonesia, Rabu (18/11).

Kendati demikian, ia menegaskan sebenarnya vaksin Covid-19 tidak memiliki batas-batas negara dan bisa digunakan oleh negara manapun. Hingga saat ini, ia menyebutkan dua vaksin yang bisa digunakan dalam waktu dekat yaitu Sinovac dengan menggunakan basis inactivated virus, kemudian vaksin Pfizer menggunakan RNA dan diklaim efektivitasnya 97 persen.

Di kesempatan yang sama, Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ali Ghufron Mukti menambahkan, Vaksin Merah Putih yang dikembangkan oleh anak bangsa nantinya beredar di negara ini. "Meskipun tadi sudah disampaikan namanya ilmu pengetahuan, teknologi tidak mengenal batas-batas negara, tetapi kami ingin Indonesia mandiri," ujarnya.

Ketika vaksin di Indonesia bisa efektif, Ghufron menegaskan ini juga terkait persoalan isu kedaulatan, kemampuan sebuah negara dalam mengembangkan teknologi, ilmu pengetahuan serta inovasi. Artinya, dia melanjutkan, Indonesia tidak hanya sebatas sebagai pedagang yang membeli barang kemudian kembali dijual.

Negara ini harus mampu melakukan terobosan inovasi yang memiliki nilai tambah, termasuk vaksin. Apalagi, dia melanjutkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penghasil vaksin Indonesia yaitu sudah Bio Farma bisa mengekspor produknya ke-140 negara.

"Di antara negara anggota OKI, Indonesia jadi standar dan rujukan vaksin. Sehingga kita mampu," katanya.

Dalam wawancara dengan Republika.co.id, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN), Bambang PS Brodjonegoro, mengungkapkan pentingnya Indonesia dalam memproduksi vaksin Covid-19 sendiri. Menurut Bambang, Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia tidak bisa bergantung pada vaksin dari luar negeri.

"Negara kita itu 270 juta penduduknya, dan kita ke-4 terbesar di dunia. Jadi sangat riskan kalau kita mengandalkan vaksin yang 100 persen dari luar negeri. Maka, kami tetap mengandalkan vaksin dari dalam negeri," kata Bambang.

Ia menambahkan, tentunya terdapat perbedaan antara Vaksin Merah Putih dan vaksin yang diproduksi negara lain. Vaksin Merah Putih bibitnya di teliti di Indonesia dan menggunakan isolat virus yang bertransmisi di Indonesia. Hal inilah yang semakin mendorong pentingnya produksi vaksin dalam negeri.

Selain itu, kata dia, jika berbicara mengenai kesehatan masyarakat ke depannya, perlu ada pendekatan pencegahan. Menurutnya, pendekatan yang hanya menyembuhkan tidak akan membuat Indonesia maju dalam bidang kesehatan.

"Kita harus sudah mulai bergerak, jika kita ingin jadi negara maju, kita harus ke pencegahan. Salah satu instrumen penting dalam preventive medicine adalah vaksin," kata dia menegaskan.

Walaupun demikian, Indonesia juga harus mengakui bahwa perkembangan teknologi di luar lebih cepat. Sehingga, jika dari segi kecepatan, vaksin Indonesia tidak bisa secepat nama-nama vaksin global yang saat ini sudah mulai memasuki uji klinis ketiga.

Terkait hal ini, pemerintah memutuskan untuk menempuh dua jalur pemenuhan kebutuhan vaksin. Pertama adalah bekerja sama dengan luar negeri, sementara cara kedua adalah mengembangkan vaksin sendiri seperti yang dilakukan para pengembang Vaksin Merah Putih.

"Kita menempuh dua jalur ini untuk masyarakat juga. Kalau nanti vaksin luar negeri mendapatkan izin untuk divaksinasi, ya tentunya kita harus beri perhatian khusus untuk warga kita sendiri supaya Indonesia tidak terlalu tertinggal. Tetapi, sesuai arahan Presiden, begitu Vaksin Merah Putih siap, kita hentikan semua kerja sama impor vaksin dari luar," kata Bambang.

Lembaga Eijkman saat ini sedang mengerjakan vaksin dengan platform subunit protein rekombinan, baik yang berbasis sel mamalia maupun berbasis sel ragi. Eijkman juga mulai mengembangkan pendekatan virus yang dilemahkan. Ada tiga platform yang akan dikembangkan oleh Eijkman.

Selain pengembangan Vaksin Merah Putih oleh Eijkman juga ada empat institusi lain yang ikut dalam proses ini. Nama Vaksin Merah Putih tidak hanya milik Eijkman karena yang terpenting bibit vaksinnya diteliti dan dikembangkan di Indonesia.

Tim lain yang juga terlibat dalam pengembangan Vaksin Merah Putih adalah Universitas Indonesia (UI) yang mengembangkan tiga platform yaitu DNA, RNA, dan platform virus seperti partikel. Kemudian kedua, tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengembangkan dengan platform adenovirus, dan tim ketiga adalah dari Universitas Airlangga (Unair) yang juga mengembangkan platform adenovirus. Terakhir yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang mengembangkan platform protein rekombinan.

Vaksin Merah Putih memang dikembangkan berbeda dengan Sinovac atau Sinopharm. Dua vaksin terakhir menggunakan platform inactivated virus atau virus yang dimatikan dalam pengembangan vaksinnya.

Menteri Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengembangkan vaksin dengan platform inactivated virus. Saat ini, pemerintah sedang mencari pabrik swasta yang mampu memproduksi vaksin dengan platform ini.

Pengembangan vaksin dengan platform inactivated virus artinya menggunakan virus yang telah dimatikan. Bambang menjelaskan, vaksin dengan platform ini lebih cepat dikembangkan. Vaksin Covid-10 Sinovac dari China menggunakan platform ini dalam mengembangkan virusnya.

Walaupun lebih cepat, PT Bio Farma sebagai industri yang bergabung dengan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 belum mampu memproduksi vaksin dengan platform ini. Oleh karena itu, pemerintah ingin memastikan ketersediaan fasilitasnya terlebih dahulu.

"Kita ingin memastikan dulu, ada tidak fasilitasnya. Karena itu kita berkomunikasi dengan pabrik-pabrik swasta, karena Bio Farma tidak punya fasilitas itu, apalagi lab seperti Eijkman," kata Bambang menjelaskan.

Mengembangkan vaksin dengan platform inactivated virus, artinya harus mendapatkan virus secara utuh yang masih hidup kemudian dilemahkan. Hal ini memiliki risiko yang tinggi karena peneliti harus berada sangat dekat dengan virus yang masih hidup.

Jika virus dilemahkan, yang perlu dijadikan perhatian adalah apakah virus tersebut sudah mati sepenuhnya. Dikhawatirkan, masih ada bagian dari virus yang tidak sepenuhnya mati dan justru berbahaya ketika disuntikkan. "Jadi ini plusnya, bisa lebih cepat tapi juga berisiko," kata dia menambahkan.

Sementara itu, dua pakar atau profesor pediatrik yakni Prof Dr dr Sri Rezeki Hadinegoro dan Prof Dr Kusnandi Rusmil, SpA(K), MM dilibatkan untuk turut serta mengawal proses pengembangan dan pengujian vaksin Covid-19. Sri Rezeki Hadinegoro mengatakan perlu upaya percepatan dan penyuksesan persiapan pengadaan vaksin Covud-19 sebagai salah satu upaya Pemerintah melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) dalam menangani pandemi dan pemulihan ekonomi Indonesia.

“Vaksin menjadi prioritas utama pemerintah melalui KPCPEN untuk memutus mata rantai penyebaran dan penanganan kasus Covid-19 di Indonesia,” katanya.

Sri yang juga Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Universitas Indonesia ini ditunjuk bersama Kusnandi Rusmil sebagai tenaga ahli untuk mengawal proses pengembangan vaksin. Dalam mengembangkan vaksin Covid-19, tingkat keamanan dan keefektifan menjadi faktor penting yang harus dijaga ketat.

Keduanya adalah tokoh ahli yang memiliki andil besar dalam mengawal proses pengembangan dan uji klinis vaksin Covid-19 untuk mendapatkan hasil yang aman, berkhasiat, dan bermutu tinggi.

Sri merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan imunisasi di Indonesia. Sedang Kusnandi yang juga Ketua Tim Uji Klinis Vaksin Covid-19 sampai saat ini secara rutin memberikan keterangan terkait perkembangan uji klinis kandidat vaksin Covid-19.

Kusnandi memiliki peran yang cukup signifikan dalam bidang pengujian klinis vaksin di Indonesia. Sebagai BUMN spesialis vaksin, PT Bio Farma, kerap menggandeng Kusnandi dalam persiapan produksi berbagai macam vaksin sebelum didistribusikan ke masyarakat. Hasilnya, nyaris seluruh produk vaksin yang dikembangkan Bio Farma merupakan buah karya keilmuan Kusnandi.

photo
Perbedaan vaksin, vaksinasi, dan imunisasi - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement