Rabu 18 Nov 2020 02:05 WIB

Parlemen Bahas Tuntutan Ubah Konstitusi Thailand

Anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Demonstran pro-demokrasi berbaris ke Kedutaan Besar Jerman di pusat Bangkok, Thailand, Senin, 26 Oktober 2020. Saat anggota parlemen berdebat dalam sesi khusus di Parlemen yang dipanggil untuk mengatasi ketegangan politik, unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa akan dilanjutkan. pawai melalui pusat kota Bangkok pada Senin malam ke Kedutaan Besar Jerman, tampaknya untuk memberi perhatian pada waktu yang dihabiskan Raja Maha Vajiralongkorn di Jerman.
Foto: AP Photo/Gemunu Amarasinghe
Demonstran pro-demokrasi berbaris ke Kedutaan Besar Jerman di pusat Bangkok, Thailand, Senin, 26 Oktober 2020. Saat anggota parlemen berdebat dalam sesi khusus di Parlemen yang dipanggil untuk mengatasi ketegangan politik, unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa akan dilanjutkan. pawai melalui pusat kota Bangkok pada Senin malam ke Kedutaan Besar Jerman, tampaknya untuk memberi perhatian pada waktu yang dihabiskan Raja Maha Vajiralongkorn di Jerman.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pertempuran politik Thailand bergeser dari jalanan ke parlemen mulai Selasa (17/11). Anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi yang selama ini menjadi tuntutan demonstran.

Sebanyak tujuh rancangan amandemen konstitusi dijadwalkan untuk dipilih dalam sesi gabungan dua hari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Senat. Perubahan konstitusi membutuhkan pemungutan suara bersama dari kedua badan tersebut.

Baca Juga

Semua rancangan yang lolos harus melalui tafsiran kedua dan ketiga setidaknya sebulan setelah pemungutan suara pekan ini. Thailand telah memiliki 20 konstitusi sejak menghapuskan monarki absolut pada 1932 untuk mendukung monarki konstitusional.

Parlemen sepertinya tidak akan menyetujui perubahan spesifik yang akan membatalkan aspek konstitusi 2017. Sebaliknya, parlemen kemungkinan akan membentuk komite perancang konstitusi untuk membuat piagam baru.

Langkah ini memungkinkan pemerintah bersedia memenuhi tuntutan para pengunjuk rasa setidaknya di tengah jalan. Konsensus juga dapat dicapai dengan kemungkinan semua poin dalam konstitusi untuk diamandemen. Reformasi monarki adalah tuntutan kunci lain dari gerakan protes yang meyakini institusi kerajaan terlalu kuat dan kurang akuntabilitas.

Sidang parlemen merupakan upaya pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha untuk mengambil inisiatif menjauh dari gerakan pro-demokrasi. Mereka menuduh bahwa Prayuth mendapatkan tampuk kekuasaan secara tidak adil dalam pemilu tahun lalu karena undang-undang telah diubah untuk mendukung partai pro-militer. Para pengunjuk rasa juga mengatakan konstitusi, yang ditulis dan diberlakukan di bawah pemerintahan militer, tidak demokratis.

Dikutip dari BBC, konstitusi yang disahkan pada 2017 menekankan tentang pembagian politik dan korupsi. Salah satu pembahasannya keanggotaan senat pada dasarnya akan ditentukan oleh militer, memberikan para jenderal kekuasan untuk menentukan 250 kursi tersebut. Pembaruan ini yang akhirnya membuat dukungan Prayuth tetap kuat karena parlemen yang menentukan pengisi jabatan perdana menteri.

 

Tuntutan demonstran dalam reformasi sistem monarki belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga momen ini menyebabkan kekacauan paling besar di Thailand. Masalah ini menyentuh hal sensitif di negara yang menganggap penghormatan terhadap institusi kerajaan ditanamkan sejak lahir dan dilindungi oleh undang-undang. Pencemaran nama baik raja dan keluarga dekatnya dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.

Amandemen yang paling kontroversial adalah yang diusulkan oleh asosiasi sipil progresif, Dialog Reformasi Hukum Internet, yang mengumpulkan sekitar 100 ribu tanda tangan untuk dimasukkan ke dalam agenda parlemen. Tuntutan ini banyak mendorong perubahan spesifik pada piagam 2017, tetapi poin terbesarnya adalah kemungkinan perubahan yang mencakup monarki.

sumber : AP/BBC
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement