Selasa 17 Nov 2020 19:21 WIB

Kamar Dagang Sebut AS Tertinggal Setelah Ada RCEP

RCEP mencakup sekitar 30 persen ekonomi global dan 30 persen populasi dunia.

Gambar yang diambil dari telekonferensi yang ditayangkan Kantor Berita Vietnam (VNA) menunjukan pemimpin dan menteri perdagangan dari 15 negara berpose usai menandatangani pakta kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Ahad (15/11). Sepuluh negara ASEAN ditambah lima negara Asia lain seperti China dan Jepang sepakat untuk membentuk blok perdagangan terbesar di dunia. Kesepakatan ini diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi akibat guncangan pandemi.
Foto: VNA via AP
Gambar yang diambil dari telekonferensi yang ditayangkan Kantor Berita Vietnam (VNA) menunjukan pemimpin dan menteri perdagangan dari 15 negara berpose usai menandatangani pakta kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Ahad (15/11). Sepuluh negara ASEAN ditambah lima negara Asia lain seperti China dan Jepang sepakat untuk membentuk blok perdagangan terbesar di dunia. Kesepakatan ini diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi akibat guncangan pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Kamar Dagang Amerika Serikat mengatakan pada Senin (16/11) pihaknya prihatin bahwa AS tertinggal setelah 15 negara Asia-Pasifik menandatangani Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang membentuk blok dagang terbesar di dunia.

Kamar Dagang AS menyambut keuntungan liberalisasi perdagangan dari RCEP, dan menyebut bahwa eksportir AS, para pekerja, dan petani membutuhkan akses yang lebih luas ke pasar Asia. Namun, lembaga itu juga menyebut Pemerintah AS tidak perlu bergabung di dalamnya.

Baca Juga

Pakta perdagangan bebas kawasan tersebut disahkan pada Ahad (15/11) oleh 10 negara ASEAN dan lima mitra eksternal, yakni China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. RCEP mencakup sekitar 30 persen ekonomi global dan juga 30 persen populasi dunia, serta bertujuan untuk menurunkan tarif secara progresif di wilayah Asia-Pasifik.

AS sendiri tidak bergabung dengan RCEP, sebagaimana negara itu telah hengkang dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) --yang kini tengah dinegosiasikan dengan rumusan baru bernama Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).

Setelah TPP ditandatangani pada 2016, pemerintahan baru AS di bawah Presiden Donald Trump pada awal 2017 menyatakan keluar dari TPP, padahal perjanjian itu dinegosiasikan oleh pendahulunya, Presiden Barack Obama, sebagai bagian dari jalan masuk AS ke Asia.

Wakil Presiden Eksekutif Kamar Dagang AS,Myron Brilliantmengatakan pemerintahan Trump telah melangkah untuk mengonfrontasi praktik perdagangan tak adil yang dijalankan China, namun hanya menyisakan sedikit kesempatan bagi para eksportir AS di bagian lain wilayah Asia.

"Dengan kelemahan RCEP, kami tidak merekomendasikan Amerika Serikat untuk bergabung," kata Brilliant.

Ia mencatat bahwa sejumlah perjanjian dagang AS belakangan ini telah memasukkan aturan yang lebih kuat dan dapat diterapkan untuk isu seperti perdagangan digital, hambatan nontarif, dan pelindungan hak intelektual.

"Amerika Serikat, bagaimanapun, harus mengadopsi upaya strategis yang lebih berpandangan ke depan untuk mempertahankan kehadiran negara yang solid secara ekonomi di kawasan. Jika tidak, kita berisiko berada di luar dan hanya melihat salah satu motor utama pertumbuhan dunia bergerak tanpa kita," kata dia.

Brilliant mengatakan bahwa ekspor AS ke pasar Asia-Pasifik mengalami peningkatan secara tetap dalam beberapa dekade terakhir, namun pangsa pasar perusahaan AS telah menurun.

Ia menggarisbawahi pentingnya pasar Asia-Pasifik, dengan menyebutkan bahwa proyeksi pertumbuhan rata-rata mencapai lebih dari lima persen pada 2021 serta perluasan kelas menengah yang terjadi secara cepat di kawasan itu.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement