Selasa 17 Nov 2020 14:09 WIB

Begini Nasib Petani di Masa Pandemi

Harga produk pertanian pun mengalami penurunan.

Petani menanam padi di areal sawah terasering (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Dedhez Anggara
Petani menanam padi di areal sawah terasering (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Pandemi Covid 19 yang telah berlangsung selama sembilan bulan di Indonesia dinilai berdampak terhadap harga produk-produk pertanian terutama produk hortikultura dan produk peternakan.

Khudori, pegiat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), menilai kedua produk tersebut paling terganggu terutama terkait serapan hasil produksinya selama pandemi. “Bagi para peternak ayam, khususnya ayam broiler, sejak Agustus 2018 kondisi mereka sudah mengalami penurunan. Sejak masa pandemi Covid-19 turunnya permintaan terutama karena turunnya daya beli, sehingga pasokan dan permintaan tidak berimbang,'' ujar Khudori dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (17/11).

Jika kondisi  normal, menurut Khudori, petani tanaman hortikultura seharusnya bisa melakukan proses pengiriman produksi dari mulai sentra sampai ke level pedagang pengepul. Namun kenyataannya, adanya pembatasan sosial mengganggu pengiriman produk pertanian yang cepat rusak seperti sayuran dan buah-buahan segar.

Ketika sejumlah daerah perbatasan sudah mulai dibuka dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dikendurkan, ternyata tetap belum dapat mengatasi ketidakseimbangan antara produksi dan tingkat konsumsi. ''Selain karena belum pulihnya daya beli masyarakat, ada sejumlah aktivitas masyarakat yang belum kembali normal,” ujar Khudori.

Selama beberapa bulan terakhir, harga produk-produk hortikultura seperti sayuran dan komponen bumbu-bumbu dapur jatuh.  Para petani membiarkan produknya membusuk, karena biaya produksi tidak seimbang dengan harga jualnya. “Masalah ini bisa selesai kalau Indonesia memiliki sistem rantai pendingin (cold storage) yang ada di tiap sentra produksi. Saya tidak yakin Bulog mempunyai rantai pendingin. Yang mereka punya banyak adalah gudang untuk menyimpan beras. Memang pernah mereka ditugasi untuk menjadi 'garda penyangga' bagi komoditas daging sapi,” papar anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat ini.

Adanya penurunan tajam harga sejumlah komoditi pangan di beberapa daerah di Indonesia dibenarkan oleh anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Golkar DPR-RI Panggah Susanto. “Ada beberapa produk pangan yang harganya turun tajam di sejumlah daerah di Indonesia, di Jawa Tengah seperti di Pekalongan, Temanggung, Pemalang, sampai Purworejo, seperti harga singkong (ketela), dan juga kopi mengalami penurunan. Bahkan dapat dikatakan harga produk pangan tersebut tidak ada harganya. Namun kami tidak melihat kondisi tersebut berdampak pada terjadinya krisis pangan, karena masyarakat masih dapat mencari produk substitusi pangan. Kendati bukan termasuk produk pangan, harga tembakau juga mengalami penurunan,'' kata Panggih.

Ada dugaan kuat, turunnya harga komoditas ini berkorelasi dengan daya beli masyarakat yang turun. ''Sebab apabila  daya beli konsumen mengalami penurunan, akan berdampak secara luas,“ papar Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah ini.

Secara terpisah anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Gerindra DPR RI Endang Setyawati Thohari mengharapkan, pemerintah dapat mengatasi masalah serapan kelebihan produksi para petani baik akibat pemberlakuan PSBB ataupun sebagai dampak langsung karena pandemi, sehingga hampir semua sektor usaha terkena dampaknya.

Pihaknya pun berharap pemerintah baik Kementerian Pertanian dan juga Kementerian Perdagangan lebih memperhatikan kondisi para petani, mengingat pertumbuhan ekonomi saat ini salah satunya bertopang dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencapai 2,15 persen berdasarkan data triwulan III tahun 2020 dari BPS.

“Melihat kondisi ini sebaiknya pemerintah segera bertindak cepat, sebab di masa pandemi ini, para petani, yang tidak pernah mengenal masa libur berproduksi, saat ini termasuk salah satu pihak yang dirugikan karena sayur-sayuran seperti tomat, daun kemangi dan pokcoy tidak terserap oleh pasar,'' ujar Endang.

Pemerintah, tutur Endang, perlu mengubah realokasi anggaran, dari anggaran rutin yang mungkin tidak optimal, diubah alokasinya kepada subsidi angkutan produk-produk pertanian sebagai solusi. Misalnya untuk menampung bunga-bunga hiasan yang tidak terdistribusi di dalam negeri, menjadi berorientasi ekspor.

Atau solusi di dalam negeri, pemerintah menggunakan anggarannya untuk mensubsidi produk para petani, mengingat di dalam negeri saja, para petani belum seluruhnya dapat menggunakan Kartu Tani untuk membeli pupuk bersubsidi. ''Tujuan kami adalah agar produk pertanian dapat dipasarkan sesuai peruntukannya. Jika tidak tersalur, pemerintah diharapkan mampu bertindak cepat menjadikannya sebagai lembaga penyangga, mengingat banyak produk pertanian yang sifatnya cepat rusak,” kata dia.

sumber : siaran pers
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement