Senin 16 Nov 2020 22:45 WIB

Doli Paparkan Sejumlah Isu Krusial dalam RUU Pemilu

Ada lima isu klasik dan empat isu kontemporer dalam RUU Pemilu.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung
Foto: Republika/Mimi Kartika
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung  mengungkapkan ada sejumlah isu krusial yang juga akan disusun di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu. Ia membaginya ke dalam dua isu, yaitu lima isu klasik dan empat isu kontemporer.

"Lima isu klasik ini yang selalu dan pasti akan selalu menjadi perdebatan panjang dan biasanya diselesaikan pada level lobi di tingkat pimpinan parpol," kata Doli dalam rapat dengan baleg DPR, Senin (16/11).

Baca Juga

Lima isu klasik, yaitu sistem pemilu terbuka dan tertutup, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Lalu, besaran jumlah kursi per dapil (district magnitude), dan sistem konversi suara ke kursi. 

"Itu juga lah kenapa di dalam penyusunan draft yang kami sampaikan ini, kami belum memutuskan salah satu alternatif karena ada beberapa opsi dan ini kami yakin keputusannya ada di tingkat akhir pembahasan bersama pimpinan parpol," ujarnya.

Empat isu lainnya juga dianggap isu krusial kontemporer dalam RUU Pemilu, di antaranya pembagian keserentakan pemilu. Ia mengatakan, hal tersebut berkaitan pula dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap memutuskan bahwa pileg serentak dengan pilpres.

Selain itu, konsekuensi penyatuan rezim undang-undang pemilu juga merupakan isu krusial di dalam RUU Pemilu. Termasuk pengaturan waktu  pilkada serentak. 

"Jadi misalnya salah satu contoh dalam undang-undang eksisting sekarang, undang-undang pemilukada, setelah pilkada serentak 2020, akan ada pilkada serentak 2024 berbarengan dengan pileg pilpres, dengan adanya konsekuensi ke satu rezim dan pembagian ini kita mengusulkan ada alternatif, pelaksanaan pemilu daerah itu dilakukan diantara dua pemilu nasional," jelasnya.

"Itu konsekuensinya adalah yang terdekat adalah di tahun 2027, semua pilkada serentak yang berlangsung sekarang dinormalkan. 2015-2020, 2017-2022, 2018-2023, dan kalau mau serentak nasional di 2027 di antara pemilu serentak 2024-2029," imbuhnya. 

Isu kontemporer kedua, yaitu terkait digitalisasi pemilu. Menurutnya pengembangan teknologi dalam demokrasi dinilai semakin perlu agar pemilu ke depan semakin ramah, mudah, efisien dan menyenangkan bagi pemilihnya.

"Karena itu, kita ingin mengkaji lebih dalam pelaksaanaan elektronisasi atau digitalisasi di setiap tahapan pemilu, walaupun kemarin kita memilih lebih baik kita mulai uji coba yg sekarang sudah dilaksanakan di pilkada serentak itu uji coba elektronisasi tahapan rekapitulasi dibandingkan dengan e voting karena evoting ini di beberapa negara eropa dan skandinavia rawan penyimpangan," kata dia.

Isu lainnya terkait perlu adanya pasal-pasal yang meminimalisasi terjadinya bahaya moral pemilu, seperti politik uang dan politik transaksional. Selain itu diharapkan RUU Pemilu semakin mempertegas tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) lembaga penyelenggara pemilu.

"Kita punya tiga lembaga penyelenggara pemilu, yang satu sama lainnya sering terjadi overlapping. Terakhir DKPP memberhentkan salah satu komisioner di KPU dan digugat di PTUN, sudah keluar kepresnya lalu dianulir, saya kira ini kontra produktif pengembangan demokrasi kita," tuturnya.

Selain itu ada juga sejumlah isu lainnya seperti keterwakilan perempuan, serta posisi ASN dan Polri. Komisi II selaku pengusul RUU Pemilu berharap RUU tersebut bisa menciptakan sistem politik yang demokratis.

"Kita berharap juga RUU Pemilu ini tidak hanya memenuhi aspek prosedur tapi juga aspek substansial," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement