Senin 16 Nov 2020 15:33 WIB

Ini Respons Kadin Soal RCEP

Melalui RCEP, Indonesia pun bisa lebih mudah mengundang investasi dari negara peserta

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
Gambar yang diambil dari telekonferensi yang ditayangkan Kantor Berita Vietnam (VNA) menunjukan pemimpin dan menteri perdagangan dari 15 negara berpose usai menandatangani pakta kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Ahad (15/11). Sepuluh negara ASEAN ditambah lima negara Asia lain seperti China dan Jepang sepakat untuk membentuk blok perdagangan terbesar di dunia. Kesepakatan ini diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi akibat guncangan pandemi.
Foto: VNA via AP
Gambar yang diambil dari telekonferensi yang ditayangkan Kantor Berita Vietnam (VNA) menunjukan pemimpin dan menteri perdagangan dari 15 negara berpose usai menandatangani pakta kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Ahad (15/11). Sepuluh negara ASEAN ditambah lima negara Asia lain seperti China dan Jepang sepakat untuk membentuk blok perdagangan terbesar di dunia. Kesepakatan ini diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi akibat guncangan pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyambut baik penandatanganan Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP). Kadin melihat RCEP sebagai perjanjian dagang yang sangat potensial memperluas dan meningkatkan hubungan dagang Indonesia dengan berbagai negara RCEP, sekaligus berpotensi membantu menempatkan Indonesia sebagai production hub dalam supply chain serta value chain global dan regional. 

"RCEP berpotensi meningkatkan diversifikasi dan volume ekspor nasional, meningkatkan inbound investasi global ke Indonesia. Sekaligus meningkatkan daya saing ekonomi nasional di kawasan di masa mendatang," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani kepada Republika.co.id, Senin (16/11).

Dengan potensi ekonomi RCEP yang mencapai 24,67 triliun dolar AS, Kadin meyakini Indonesia lebih rugi bila tidak bergabung dalam RCEP. Sebab hanya akan memperlebar ketertinggalan Indonesia dari berbagai negara pesaing di kawasan dalam mengambil keuntungan dari potensi ekonomi tersebut.

Dalam konteks pandemi, lanjutnya, RCEP menciptakan kepastian berusaha atau certainty lebih tinggi untuk menormalisasi arus perdagangan dan investasi di antara berbagai negara RCEP. Hal ini dengan sendirinya potensial menciptakan peningkatan permintaan ekspor nasional dan inbound investasi bagi Indonesia dalam jangka pendek, khususnya karena negara-negara Asia Timur (China, Korea, dan Jepang), Australia, serta Selandia Baru sudah lebih dahulu dan lebih sukses menormalisasi kegiatan ekonomi domestik masing-masing. 

"Melalui RCEP, Indonesia pun bisa lebih mudah mengundang investasi dari negara-negara RCEP ke Indonesia. Ini karena, ketika pandemi menyebabkan anjloknya arus investasi global ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," jelas Shinta. 

Namun Kadin mengingatkan, RCEP merupakan perjanjian yang dapat dimanfaatkan oleh semua negara RCEP, termasuk berbagai negara pesaing Indonesia di kawasan. Hanya negara yang mau terbuka maju, lebih produktif, lebih efisien dan lebih kompetitif serta mau memacu diri lebih agresif menggunakan komitmen-komitmen perjanjian RCEP untuk kepentingan ekonominya, yang akan memperoleh manfaat paling banyak dari perjanjian tersebut. 

Negara yang lebih agresif, sigap dan cepat melakukan beragam penyesuaian struktural atau structural adjustments di level domestik, yang akan lebih siap dan lebih banyak memanfaatkan RCEP. Keseluruhan penyesuaian internal ini harus dilakukan sebelum RCEP diimplementasikan, agar Indonesia tidak tertinggal dari negara RCEP lain.

"Untuk itu, Indonesia harus kerja keras dan kerja smart membenahi diri melalui reformasi birokrasi dan reformasi kebijakan ekonomi yang konsisten. Hingga ke level teknis secepatnya," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement