Selasa 10 Nov 2020 05:12 WIB

Pahlawan yang Membumi

Gelar pahlawan seharusnya tak hanya diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal

Ichwan Arifin
Foto: Dokumentasi Pribadi
Ichwan Arifin

Oleh Ichwan Arifin. Alumnus Pasca Sarjana Undip, mantan Ketua GMNI Semarang

REPUBLIKA.CO.ID, November adalah bulan Pahlawan. Predikat ini merujuk pada penetapan Hari Pahlawan yang mengacu peristiwa Pertempuran 10 November, 1945 di Surabaya. Momentum heroik yang selalu diperingati setiap tahunnya. Namun, setelah sekian lama Indonesia merdeka, makna peringatan itu terasa semakin artifisial. Aktualisasi dalam konteks kekinian terasa berjarak dengan realitas kehidupan.

Berbicara tentang nilai kepahlawanan dengan generasi saat ini, perlu menyesuaikan pesan (messages) dan cara mengomunikasikannya.  Selama ini, pembelajaran tentang pahlawan melalui pendidikan sekolah maupun cara lainnya (misalnya film perjuangan), membuat kisah para pahlawan itu seperti “orang suci”, “tidak membumi” dan berjarak dengan masyarakat pada umumnya.

Padahal para pahlawan itu bukan malaikat. Mereka manusia biasa, sama dengan kita. Dalam kehidupannya pasti juga punya persoalan pribadi. Pernah berbuat salah, atau tindakan lain yang jamak dilakukan orang awam. Justru dari penyajian secara utuh tersebut, kita dapat belajar dari mereka tanpa jarak dan tetap melihatnya sebagai manusia yang punya kelebihan dan kekurangan.

Jika masih bertumpu pada metode tersebut, tidak aneh jika anak-anak muda saat ini akan bilang “so yesterday” alias jadul. Dampaknya, pesan moral yang disampaikan justru akan terlewat. Situasi ini yang membuat pelajaran tentang kepahlawanan, seperti sejarah, tidak disukai anak-anak muda sekarang.

Kondisi itu disebabkan beberapa hal, antara lain: Pertama, persepsi tentang pahlawan yang hanya melekat pada orang-orang yang pernah berjuang merebut atau membela kemerdekaan. Lebih fokus lagi perjuangan bersenjata. 

Sebenarnya, jika merujuk pada definisi tentang pahlawan nasional, maknanya lebih luas dari hal itu. Pahlawan didefinisikan sebagai gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dia telah  gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Kedua, transformasi nilai kepahlawanan dituturkan lewat sejarah. Sedangkan sejarah ditorehkan oleh para pemenang, demikian kata mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Saat rezim Orba, sejarah Indonesia disusun oleh Brigjen Nugroho Notosusanto yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 

Pengalamannya di tentara pelajar (TRIP) membuat Nugroho dekat dengan militer. Dia kemudian bekerja dilingkup kemiliteran, hingga diberi pangkat tituler. Hal itu berpengaruh pada sudut pandangnya dalam menuangkan narasi sejarah. Kental dengan perjuangan fisik bersenjata. Tidak banyak memberikan narasi perjuangan diplomasi/politik. 

Dikutip dari berbagai literatur, Nugroho juga pernah melontarkan ide kontroversial. Misalnya mengusulkan Muhammad Yamin sebagai penggali Pancasila, termasuk mengusulkan 1 Maret sebagai Hari Pahlawan. 

Ketiga, pemberian gelar pahlawan dan penghargaan lainnya juga berpotensi dipolitisasi. Misalnya, untuk kepentingan merawat dukungan politik, pencitraan dan sebagainya. Baik dari pemberi atau pengusul. Saat ini meski sudah ada prosedur yang tertata, misalnya; melalui Tim Peneliti Pengkaji Gelar (TP2G) ditingkat pusat dan daerah, serta ada Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, sebelum kemudian diputuskan presiden. Namun potensi politisasi itu tetap ada.

Dalam konteks ini, merujuk Denys Lombard dalam “Nusa Jawa Silang Budaya”, sejak awal memang ada nuansa politis dibalik pemberian gelar pahlawan. Meskipun itu untuk menguatkan persatuan nasional. Namun, kontroversi yang mengemuka muncul saat penetapan Siti Hartinah (Tien Soeharto) sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soeharto, 30 Juli 1996.

Keempat, tantangan kehidupan yang dinamis memerlukan “role model” yang sesuai dengan realitas jaman. Pahlawan diharapkan mengisi peran tersebut bagi masyarakat, khususnya anak-anak muda.  

Karena itu, tema Hari Pahlawan kali ini, “Pahlawanku Sepanjang Masa” sangat tepat.  Pemerintah melalui Kementerian Sosial menjelaskan, pemilihan tema tersebut untuk menegaskan bahwa nilai kepahlawanan saat ini sangat luas maknanya. Tidak hanya terkait dengan perlawanan bersenjata pada masa penjajahan namun juga kontribusi yang diberikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Merujuk definisi tersebut, maka ruang gelar pahlawan seharusnya terbuka lebar untuk orang yang berprestasi, memberikan manfaat bagi bangsa ini di bidang apapun. Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan pada para pejuang terdahulu. Kini, saatnya mengapresiasi anak-anak bangsa yang menorehkan prestasi, memberikan manfaat untuk orang dengan gelar pahlawan. Misalnya; pahlawan olahraga, lingkungan hidup, pendidikan dan sebagainya. Saat ini, misalkan ada penghargaan tersebut, namun sebatas sebutan informal saja. 

Seharusnya gelar pahlawan tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal, namun juga yang masih hidup. Justru penyematan gelar pahlawan saat masih berkarya akan terus mendorong yang bersangkutan memberikan karya terbaiknya. Jika ternyata dalam perjalannya ada masalah yang bertabrakan dengan prinisip dan nilai kepahlawanan, gelar itupun dapat dicabut. 

Sebagaimana kata Goenawan Mohamad dalam Pagi dan Hal-hal yang Dipungut Kembali, “orang tak selalu baik, benar, berani. Tapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biarpun sebentar.”

  

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement