Senin 09 Nov 2020 19:57 WIB

Mendorong KPPU Menciptakan Ekonomi Berkeadilan Bagi UMKM

Sistem pembayaran yang diterapkan toko modern merugikan pelaku UMKM.

Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menujukkan produk makanan. UMKM yang ditunjuk menjadi penyuplai produk di ritel modern merasa keberatan dengan sistem pembayaran tiga bulan sekali (ilustrasi).
Foto: Antara/Rahmad
Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menujukkan produk makanan. UMKM yang ditunjuk menjadi penyuplai produk di ritel modern merasa keberatan dengan sistem pembayaran tiga bulan sekali (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Sebagai lembaga yang lahir dari rahim semangat reformasi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk menjalankan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha. Sebagai lembaga independen yang berusia 20 tahun, kontribusi KPPU memang tidak perlu diragukan lagi dalam mengawal persaingan usaha agar tidak ada pelaku usaha yang dirugikan praktik oligopoli.

Sayangnya, semakin ke sini, terlihat sekali penguasaan ekonomi semakin memusat atau dikuasai segelintir kalangan tertentu. Hal itu mudah dilihat dengan semakin menjamurnya ritel atau toko modern, serta minimarket. Kondisi itu jelas membuat miris, karena kekuatan ekonomi menjadi terpusat dan kue ekonomi bakal dinikmati segelintir pemilik modal atau saham, baik mereka yang bergerak di ritel, toko modern, maupun minimarket.

Bahkan, khusus kehadiran minimarket hingga ke pelosok desa terbukti telah menghancurkan ekonomi pedagang kecil. Tidak sedikit, ketika minimarket buka di sebuah tempat maka pasti diikui penurunan omzet pedagang kecil. Apalagi, kadang lokasi jaringan minimarket antara yang satu dan lainnya jaraknya hanya selemparan batu. Berdekatan. Seolah tidak ada ketentuan yang mengatur jarak antarminimarket.

 

Wakil Presiden periode 2014-2019 Jusuf Kalla saat menjadi pembicara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2014 di Jakarta, pernah menyebutkan, hadirnya minimarket terbukti merusak ekonomi masyarakat kecil. Menurut JK, menjamurnya minimarket terbukti mematikan 20 warung kecil di sekitarnya.

Memang tidak semua minimarket dimiliki pemilik modal, lantaran sekarang juga menerapkan konsep franchise. Namun, harusnya keberadaan minimarket malah bisa bersinergi dengan pengusaha kecil, bukannya malah menghabisinya.

Bayangkan jika sebelumnya ada 20 pengusaha kelontong yang bisa hidup, dan mereka bisa mencukupi kebutuhan keluarganya dari berdagang. Jika satu keluarganya ada empat orang maka hepotesinya hadirnya minimarket bisa menghilangkan penghidupan ekonomi 80 orang.

Sementara kue ekonomi 20 pedagang itu dihisap dan dikuasai pemilik minimarket seorang, meski di dalamnya mereka membuka lapangan pekerjaan bagi sejumlah pegawai toko. Namun, di sini jelas ada ketidakadilan ekonomi. Harusnya pemerintah bisa mengintervensi dan melindungi supaya ekonomi rakyat kecil bisa terjaga dan terdistribusi dengan baik.

Komisioner KPPU, Afif Hasbullah pun menyentil keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang mana pemilik warung termasuk di dalamnya. Menurut dia, pendiri bangsa Republik Indonesia (RI) meneguhkan jika negara ini dalam sistem berbangsa menganut sistem Pancasila. Sayangnya, selama ini, sistem ekonomi tersebut sering dijumpai dan ditemui hanya sekadar jargon.

Praktiknya memang ekonomi Pancasila tidak pernah benar-benar diterapkan dalam kebijakan pemerintah. Buktinya, kerap kali pengusaha besar lebih dianakemaskan daripada pelaku UMKM. Padahal jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai 99 persen dari total pelaku ekonomi. Sehingga muncul isu dari bawah yang mendorong pengaturan persaingan usaha.

Menurut Arif, hal itu menandakan kulminasi dari rakyat yang tidak puas dengan struktur ekonomi yang terjadi di negeri ini. Pasalnya, dampak persaingan usaha tidak sehat ternyata jauh lebih merusak dibandingkan perilaku korupsi. Karena itu, ia mengajak agar setiap elemen untuk ikut meningkatkan dan mengawasi praktik kotor usaha yang ujungnya merugikan masyarakat luas.

"Kolusi pelaku usaha usaha menimbulkan distorsi pasar kerugian konsumen, dan ekonomi nasional menjadi tak efisien dan berbiaya tinggi," kata Afif menjelaskan bahaya praktik persaingan usaha tak sehat dalam webinar bertema 'Persaingan Usaha dalam Ekonomi Pancasila' di Jakarta pada Jumat (23/10).

Sayangnya, Afif melanjutkan, persaingan usaha bagi kebanyakan orang masih dianggap sebagai isu kalangan elite. Masyarakat belum benar-benar paham dan peduli tentang masalah yang ikut menentukan taraf kesejehateraan mereka tersebut. Karena itu, ia mengajak semua kalangan untuk ikut terlibat dalam mengawasi persaingan usaha agar praktik ekonomi di Indonesia berjalan dengan baik.

Apalagi, UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha merupakan sintesis dari dua titik liberalisme yang menganut kompetisi bebas tanpa bebas, dan etatisme yang mengedapankan patron negara dalam bidang ekonomi. Sehingga, KPPU meyakini, jika pelaku UMKM bisa berdaya maka mayoritas masyarakat Indonesia dapat sejahtera.

Bela UMKM

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Arif Budimanta juga mendorong KPPU untuk berpihak kepada pelaku UMKM. Dia menyebutkan, para pelaku usaha di dalam sebuah pasar bersifat asimetris dan tidak netral. Pasalnya, pelaku dalam pasar tidak semuanya mempunyai kemauan untuk saling transparan. Pelaku usaha juga memiliki kekuatan (power) dan modal (capital) berbeda-beda tergantung kapasitas masing-masing.

Menurut Arif, perlu ada keseimbangan kekuatan dan modal antara pelaku UMKM dan pengusaha berskala besar. Selama ini, pelaku usaha kecil kerap kesulitan mengakses bantuan atau pinjaman ke perbankan. Sementara di sisi lain, pelaku usaha besar dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank dengan berbagai fasilitas kemudahan yang ditawarkan. Hal itu jelas sangat tidak adil.

Kasus di lapangan menunjukkan, ketika ada pelaku UMKM yang ditunjuk menjadi penyuplai produk di ritel modern. Namun, model pembayaran jelas sangat merugikan UMKM, karena manajemen ritel menerapkan konsinyasi atau hanya barang laku yang dibayar dan membayar barang tiga bulan kemudian. Artinya, pelaku UMKM harus menyiapkan modal minimal 12 pekan ke depan, supaya bisa terus berproduksi sembari menunggu pembayaran dari pihak ritel.

Tentu saja pelaku UMKM bakal kesulitan permodalan jika barang produksi harus menunggu penjualan selama tiga bulan sekali. Masalah seperti itu tidak boleh dibiarkan terus terjadi, sementara di sisi lain KPPU tidak berbuat apapun. Untuk itu, perlu ada pihak yang mengawasi persaingan di dalam pasar antarpelaku supaya tercipta keseimbangan, suasana adil, dan damai.

"(KPPU) bukan hanya mengurusi perselisihan dalam konteks pelaksanaan bidding atau lelang, itu paling banyak, bukan hanya perselisihan antarpengusaha air minum. Gajah dan gajah yang bertarung itu yang diurus atau kasus akuisisi dan merger. Ini protection," kata Arif mengingatkan tugas KPPU agar peduli terhadap masalah kebijakan ketidakadilan ekonomi.

Berkaca dari masalah konkret yang banyak terjadi di masyarakat, KPPU wajib melakukan perlindungan terhadap UMKM yang melibatkan 99 persen pelaku ekonomi di Indonesia. Pasalnya, mereka sangat dominan dalam mencari penghidupan di sektor tersebut. Karena bagaimana pun juga, UMKM ini menyediakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar.

Di saat pemerintah belum sanggup menyediakan lapangan pekerjaan secara layak, pelaku UMKM yang tidak bergantung kepada pemerintah malah menciptakan lapangan pekerjaan. Mereka malah membantu pemerintah menyerap tenaga kerja. Sayangnya, kebijakan yang ada belum berpihak kepada pelaku UMKM.

Ketika mendapatkan peluang untuk menjual produknya dengan menggandeng ritel atau minimarket, sistem pembayaran yang diterapkan jelas merugikan mereka. Di sinilah KPPU harus hadir di tengah-tengah pengusaha kecil. KPPU tidak melulu hanya menangani kasus yang melibatkan pengusaha atau perusahaan besar.

KPPU wajib menahbiskan diri sebagai lembaga yang bukan hanya mengurusi masalah perselisihan pengusaha besar yang eksesnya tidak dirasakan masyarakat luas. KPPU harus hadir memperjuangkan UMKM agar mereka bisa lebih percaya diri ketika berhadapan dengan pengusaha besar.

Jika hal itu berhasil, percayalah, bakal ada multiplier effect. UMKM yang selama ini mendapat perlakuan tidak adil, bisa bersikap tegas jika menghadapi pasar yang tidak sehat. Sudah saatnya, KPPU menjadi pembela pelaku UMKM.

Keberpihakan harus ditunjukkan, karena faktanya terbukti hadirnya UMKM bisa membantu pemerintah dalam menyerap pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan, disertai kontribusi ekonomi. Sehingga, proses afirmasi dan perlindungan yang dilakukan KPPU bisa dimulai dari hal konkret di depan mata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement