Senin 09 Nov 2020 14:43 WIB

Chatib Basri Sebut Indonesia Masih di Masa ‘Sekarat’

Pada masa survival, ekonomi jangan terpuruk ke jurang kontraksi yang makin dalam.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
KRL melintas dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat (23/10/2020). Ekonom Chatib Basri menyebutkan, Indonesia kini masih berada pada masa survival atau 'sekarat' di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
KRL melintas dengan latar belakang gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat (23/10/2020). Ekonom Chatib Basri menyebutkan, Indonesia kini masih berada pada masa survival atau 'sekarat' di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Chatib Basri menyebutkan, Indonesia kini masih berada pada masa survival atau 'sekarat' di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Indonesia baru bisa masuk masa pemulihan ketika pandemi sudah teratasi yang ia proyeksikan terjadi pada dua tahun lagi.

Dalam masa bertahan (survival) saat ini, Chatib menjelaskan, ekonomi mengalami titik terendah pada kuartal II dan naik secara perlahan pada kuartal III hingga IV. Meski membaik, situasi belum kembali ke normal, selama pandemi masih menjadi permasalahan utama. 

Baca Juga

"Periode ini masih survival, asal selamat saja," tuturnya dalam Webinar Peluang Mendorong Investasi Saat Pandemi, Senin (9/11).

Pada masa-masa survival, pertumbuhan ekonomi yang positif tinggi menjadi jauh dari harapan. Terpenting, Chatib menekankan, ekonomi jangan sampai terpuruk ke jurang kontraksi yang semakin dalam.

Setelah pandemi dapat diatasi, aktivitas baru bisa mulai mengarah ke kondisi normal atau yang Chatib sebut sebagai masa recovery.

Mengatasi penyebaran Covid-19 menjadi kunci utama yang harus jadi prioritas pemerintah untuk masuk ke masa ini. Sebab, kalau tidak, banyak kapasitas produk yang tidak terpakai atau menganggur, sehingga menghambat proses ekspansi.

Chatib memberikan contoh restoran yang baru bisa beroperasi dengan kapasitas 50 persen. "Ngapain ekspansi di tempat baru kalau di tempat lama saja nggak bisa penuh karena ada peraturan," kata mantan menteri keuangan itu.

Bahkan, Chatib pesimistis, keberadaan vaksin dapat mendorong ekonomi, terutama dari sisi investasi. Sebab, protokol kesehatan untuk menekan laju penyebaran Covid-19 masih harus dilakukan.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Hidayat Amir menjelaskan, penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi menjadi prioritas pemerintah melalui APBN. Prioritas ini untuk menekan dampak yang terlalu parah pada masa pandemi saat ini maupun pasca krisis.

"Jangan sampai, ketika kita masuk recovery, menjadi sangat parah," ucapnya, dalam kesempatan yang sama.

Hidayat menjelaskan, proses testing, tracing dan treatment juga terus berjalan. Faktor lain yang juga didorong, penyiapan vaksin dan memastikan proses vaksinasi dapat dilakukan secara aman dan efektif.

Dari sisi ekonomi, pemerintah juga berkomitmen menyediakan kebijakan fiskal yang mendukung, diiringi dengan reformasi struktural dan simplifikasi birokrasi. Tujuannya, ketika recovery sudah mulai berjalan, pertumbuhan investasi bisa semakin terakselerasi.

Insentif perpajakan dan non perpajakan pun disebutkan Hidayat sebagai pendukung pertumbuhan investasi serta ekonomi secara makro. Hanya saja, sifatnya memang sekadar pemanis. "Policy yang lebih fundamental itu perbaikan struktural yang disebut dengan simplifikasi regulasi, birokrasi," tutur Hidayat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement