REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - Kenaikan kasus Covid-19 impor yang cukup signifikan menjadi alasan bagi China untuk melarang kedatangan warga negara asing dalam tempo sementara. Pernyataan ini disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin.
"Situasi epidemi di luar negeri makin memburuk. China sangat menghadapi risiko besar terkait kasus impor," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Beijing, Sabtu.
Ia menyebutkan pada Oktober saja China menerima 515 kasus impor atau meningkat 45 persen dibandingkan kasus September. Di lain pihak, di China juga masih terdapat kasus domestik yang menimpa masyarakat lokal.
"Dalam situasi seperti ini kami memperkuat pencegahan dan pengendalian bagi pendatang sebelum bepergian ke China. Ini membantu meminimalkan risiko," ujarnya.
Menurut dia, para pendatang telah diwajibkan tes usap (swab test), baik sebelum berangkat maupun saat sudah tiba di China. "Namun tidak ada metode tes yang akurat 100 persen," ujarnya.
Dengan mengutip otoritas kesehatan, dia menyatakan hasil tes antibodi lgM sangat stabil sehingga jika digabungkan dengan tes usap maka hasilnya lebih akurat. Karena itu, China mensyaratkan tes lgM selain tes usap, termasuk yang ditetapkan oleh kedutaan dan perwakilannya di Indonesia kepada siapa saja yang hendak bepergian ke China sejak awal November ini.
"Kami mencoba di beberapa negara lain dan hasilnya efektif," ujarnya.
Selain itu, China juga mewajibkan siapa saja yang hendak datang ke negaranya harus dengan menggunakan penerbangan langsung tanpa transit di negara ketiga. Hal itu dikarenakan adanya kasus para penumpang pesawat yang hasil tes usapnya negatif sebelum terbang tapi begitu mendarat di China hasilnya positif lantaran transit di negara ketiga.
Beberapa maskapai China seperti China Southern Airlines, akhirnya membatalkan beberapa jadwal penerbangan transit di negara ketiga. Pada Rabu (4/11) dan Kamis (6/11), beberapa kedutaan China menangguhkan visa dan izin tinggal sementara warga negara asing yang hendak kembali ke China dari Inggris, Belgia, Bangladesh, Filipina, dan beberapa negara lain.
Dengan demikian, maka China sudah dua kali mengambil kebijakan tersebut. Tindakan serupa juga telah dilakukan pada 27 Maret hingga akhir Agustus 2020.
Situasi Bandar Udara Internasional Daxing Beijing (BDIA) pada Jumat (6/11) ramai oleh para penumpang terutama penerbangan domestik. Situasi bandara terbesar di China yang baru beroperasi pada Oktober 2019 itu sangat berbeda jauh dibandingkan situasi saat awal-awal Covid-19 melanda.
"Sekarang Beijing sudah aman. Berbeda dengan Februari dulu yang sangat membahayakan," kata sopir taksi bermarga Wang dalam perjalanan sejauh 80 kilometer dari BDIA menuju Dongzhimen.
Ikuti Whatsapp Channel Republika
