Sabtu 07 Nov 2020 15:33 WIB

Berbagai Ponsel di Tengah Pandemi Bergaung ke Timur Tengah

Media Timur Tengah terkesan dengan tradisi berbagai ponsel bekas di Indonesia

Siswa belajar secara daring dengan memanfaatkan akses internet gratis dari Pemprov DKI Jakarta di Balai RW 02, Galur, Jakarta Pusat, Selasa (3/11/2020). Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merekomendasikan sejumlah usulan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengubah sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terkait adanya tiga siswa yang mengakhiri hidupnya diduga lantaran depresi.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Siswa belajar secara daring dengan memanfaatkan akses internet gratis dari Pemprov DKI Jakarta di Balai RW 02, Galur, Jakarta Pusat, Selasa (3/11/2020). Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merekomendasikan sejumlah usulan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengubah sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terkait adanya tiga siswa yang mengakhiri hidupnya diduga lantaran depresi.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Inilah kisah kepedulian jurnalis terhadap warga tak punya saat pandemi Covid-19 menyebar. Kisah ini ada di berita Timur Tenhah Al Arabiya. Ceritanya tentang kisah seorang pemulung datang ke rumah seorang jurnalis di sebuah suat kabar Nasional di Jakarta yang bernama Ghina Ghaliya.

Pada suatu waktu di tengah suasana pandemi Covid-19 seorang pemulung datang ke rumahnya. Dia datang seraya bertanya apakah memiliki ponsel tua yang dapat digunakan anak-anaknya untuk mengakses internet?

Maka sejak itu Ghlaiya terpicu itu idenya untuk berkampanye secara lebih luas untuk membantu siswa yang terjebak di rumah karena adanya pandemi virus corona.

“Dia bilang tidak masalah kalau jelek, selama anak-anaknya bisa menggunakannya untuk belajar dari rumah,” kata Ghaliya. “Saya pikir pasti ada banyak orang yang membutuhkan ponsel bekas di luar sana.”

Tak lama setelah pandemi melanda Indonesia, Ghaliya dan 11 jurnalis lainnya di Jakarta membentuk kelompok untuk menyediakan makanan dan uang bagi orang-orang yang membutuhkan. Mereka mulai mendengar dari para orang tua yang ingin anak-anak mereka dapat belajar online tetapi tidak memiliki cara untuk mengakses internet.

 

Ghaliya teringat akan percakapannya dengan pemulung dan dia serta jurnalis lainnya memutuskan untuk mengalihkan fokus mereka untuk menyediakan ponsel bagi siswa yang kurang mampu. Mereka tahu banyak di antara siswa yang masih tidak diizinkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka saat tahun ajaran baru dimulai pada Juli lalu.

Lalu, para jurnalis ini mengumumkan kampanye mereka melalui media sosial. Ajaibnya, tanggapannya luar biasa. Banyak sekali orang yang tergerak hatinya untuk  menyumbangkan unit ponsel bekas. Bahkan merekaterbuka hatinya untuk memberikan sumbangan berupa uang tunai.

Dan, hingga November ini, mereka telah mengumpulkan lebih dari 200 ponsel. Sumbangan tunai berjumlah lebih dari 530 juta rupiah (lebih dari $ 35.000). Semua ini memungkinkan mereka untuk membeli lebih banyak telepon dan juga membeli internet prabayar untuk siswa penerima.

Sejauh ini, hampir 300 telepon telah didistribusikan kepada pelajar Indonesia di sekitar Jakarta serta ke daerah terpencil seperti Papua, provinsi paling timur di Indonesia.

Membantu siswa mengikuti sekolah online membawa kebahagiaan bagi Ghaliya dan teman-teman jurnalisnya. “Kami sangat berharap ponsel dapat digunakan semaksimal mungkin selama pandemi,” kata Ghaliya.

Khaissyah Levi, 16 tahun, adalah siswa SMK di Depok, Jawa Barat, yang mengikuti kelas online pada pagi hari. Ayahnya, Deny Sayuti, selama ini meminjamkan ponselnya kepada putranya untuk sekolah, tapi itu berarti Sayuti hanya bisa bekerja sebagai tukang ojek di siang hari, melewatkan waktu sibuk seperti jam sibuk pagi hari.

Sayuti menulis kepada kelompok Ghaliya pada bulan Agustus, dan keluarganya menerima telepon genggam sebulan kemudian. Sayuti yakin bahwa putranya sekarang dapat belajar lebih baik dengan studi online-nya.

“Sekarang saya melihat dia lebih nyaman, dan dia bisa langsung menjangkau teman-teman dan gurunya,” kata Sayuti.

Qayran Ruby Al Maghribi juga telah menggunakan ponsel ayahnya untuk menghadiri tiga video call seminggu dengan gurunya dan mengumpulkan tugasnya.

Tetapi anak berusia 11 tahun itu terkadang terlambat mengirim pekerjaan rumahnya karena harus menunggu ayahnya kembali dari pekerjaannya sebagai tukang ojek agar dapat kembali online. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Maghribi tertinggal dalam studinya, yang seiring dengan merawat ibunya yang sakit membuatnya stres.

Namun senyum lebar muncul di wajah Maghribi saat menerima ponsel yang dikirim oleh kelompok Ghaliya. “Saya akan menggunakan telepon untuk melakukan sekolah online setiap hari,” kata Maghribi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement