Jumat 06 Nov 2020 18:32 WIB

Mereka Menolak Pasrah karena Wabah

Pembatasan sosial menjadi masa paling sulit bagi para pekerja sektor pariwisata.

Sigit Puji Restiono (36) melakukan aktivitas produksi lampu hias dengan memanfaatkan pipa paralon tak terpakai, di bengkel kerjanya, di lingkungan Dusun Jetak RT 05/ RW 02, Kelurahan/ Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (6/11).
Foto: bowo pribadi/republika
Sigit Puji Restiono (36) melakukan aktivitas produksi lampu hias dengan memanfaatkan pipa paralon tak terpakai, di bengkel kerjanya, di lingkungan Dusun Jetak RT 05/ RW 02, Kelurahan/ Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Bowo Pribadi

Pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 menjadi masa yang paling sulit bagi para pekerja sektor pariwisata di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Saat tempat mereka bekerja ditutup hampir lima bulan, selama itu pula mereka harus kehilangan penghasilan.

Padahal –umumnya- mereka merupakan tulang punggung perekonomian keluarga, yang setiap hari harus mencukupi berbagai kebutuhan hidup anak- anak dan istri di rumah, termasuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Namun, sesulit apapun situasi tersebut, tak lantas membuat Sigit Puji Restiono (36) pasrah. 

Ia pun terus memutar otak untuk mencari jalan keluar yang lebih berfaedah, dari pada sekadar mengandalkan jatah hidup (jadup) bantuan dari pemerintah. Maka warga Dusun Jetak RT 05/ RW 02, Kelurahan/Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang ini mencoba merintis usaha membuat kerajinan hiasan kap lampu, dengan memanfaatkan pipa paralon sisa yang tidak terpakai.

“Awalnya, saya memang bingung, bagaimana caranya bisa menghasilkan uang saat penghasilan sebagai operator di rumah karaoke berkurang signifikan dan bahkan hampir tidak ada, karena diliburkan,” ungkapnya, Jumat (6/11).

Bapak dua anak ini mengaku, ide awalnya muncul saat melihat potongan-potongan pipa paralon --sisa pekerjaan pembangunan-- yang hanya terbuang percuma dan tidak termanfaatkan.

Lalu ia mencoba memanfaatkannya untuk membuat kap lampu dengan peralatan kerja seadanya. Melalui ketekunan serta kemauannya, pipa- pipa paralon yang semula tak termanfaatkan tersebut bisa menjadi kerajinan tangan yang menarik bernilai seni.

Guna memudahkan proses pembuatan, ia pun merelakan sisa tabungan yang dimilikinya untuk membeli peralatan kerja yang mendukung. Total untuk membeli peralatan seperti seperangkat gerinda mekanis, pemanas plastik dan lainnya menghabiskan biaya lebih dari Rp 1,5 juta.

Hingga beragam bentuk serta model kap lampu dari bahan pipa paralon tersebut dihasilkannya. Mulai dari yang bercorak kaligrafi, berbagai karakter kartun populer hingga berbagai model  ornamen kontemporer.

Sigit juga mengaku, awalnya juga sempat menghadapi kesulitan, setelah bisa membuat beragam bentuk kap lampu tetapi ia tidak punya kemampuan untuk memasarkan. Sehingga hasil karyanya belum bisa mendatangkan uang.

Lalu ia mencoba menawarkan kepada tetangga, rekan serta beberapa pengusaha hotel di kawasan wisata Bandungan. Upayanya pun tidak sia- sia dan akhirnya mulai ada yang membeli karyanya tersebut.

“Dari situ kemudian mulai ada orang yang tahu akhirnya datang sendiri ke rumah saya untuk memesan,” lanjutnya.

Seiring berjalannya waktu, ia tak hanya membuat kap lampu, namun juga mengembangkan menjadi satu set lampu hias. Hasilnya pun cukup lumayan, satu set lampu dijualnya dengan harga berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu.

Kini hasil kerajinan tangannya telah dibeli tidak hanya warga sekitar Bandungan saja, namun peminatnya juga ada yang berasal dari luar daerah. “Pemilik kafe di Yogyakarta pernah memesan, kemudian dari Solo, Kudus dan Semarang,” jelasnya.

Tak hanya Sigit, ikhtiar untuk menyiasati hilangnya penghasilan akibat dampak pandemi juga dilakukan Muh Amin Kusnanto (36) dan Supriyadi (32) warga Dusun Jurang, Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan.

Selama lima bulan diliburkan dari pekerjaannya di sebuah hotel dan tempat pemancingan di Kecamatan Bandungan akibat pembatasan aktivitas sosial, membuat urusan kebutuhan rumah tangganya menjadi kelimpungan.

Untuk bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga, mereka pun mencoba menekuni usaha kecil- kecilan membuat lukisan dari daun kering dan kain perca. Sama seperti Sigit, motivasi kakak beradik ini adalah bagaimana di masa sulit pandemi bisa mendapatkan hasil tambahan.

“Karena dirumahkan, waktu itu penghasilan kami juga berkurang cukup drastis. Sementara kebutuhan harian tidak bisa ditawar sampai esok hari,” ungkap Amin.

Karya yang dihasilkan bersama adiknya tersebut cukup unik, karena merangkai potongan- potongan daun kering (daun manggis/ daun nangka) menjadi sebuah sebuah lukisan.

Sehingga proses pembuatan dan tingkat kesulitannya spesifik. “Untuk membuat dan menyelesaikan satu lukisan bisa menghabiskan waktu hingga satu bulan,” tambah Supriyadi.

Untuk menjual lukisan tersebut, awalnya juga antar teman terlebih dahulu di lingkup Kecamatan Bandungan dan Ambarawa. Namun setelah memanfaatkan media sosial, peminatnya datang dari berbagai daerah.

Tak hanya dari Jawa Tengah saja, bahkan juga dari Medan, Sumatera Utara. Untuk harga satu karya mereka berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu tergantung ukuran serta tingkat kesulitannya.

Baik Amin maupun Supriyadi mengaku, dampak pandemi Covid-19 memang memukul pekerja sektor pariwisata seperti mereka. “Namun kami tak mau menyerah karena kesulitan tersebut, namun justru membuat kami bangkit untuk berbuat dan melakukan sesuatu hal yang bermanfaat,” tegas Amin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement