Selasa 10 Nov 2020 11:06 WIB

Bolehkah Publik Mendapat Informasi Vaksinasi yang Utuh?

Narasi utuh akan memudahkan masyarakat melihat gambaran besar vaksin Covid-19

Vaksin untuk COVID-19 ditampilkan selama kunjungan ke pabrik vaksin SinoVac di Beijing.
Foto: AP Photo / Ng Han Guan
Vaksin untuk COVID-19 ditampilkan selama kunjungan ke pabrik vaksin SinoVac di Beijing.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Informasi soal pengadaan vaksin Covid-19 yang berseliweran dua pekan terakhir sungguh bikin kening mengernyit. Betapa tidak, semula Luhut Binsar Panjaitan bilang, vaksin Covid-19 dari China urung masuk ke Indonesia pada November.

Wakil ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu lantas mengatakan, pemerintah telah berkonsultasi dengan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dan akhirnya menunggu otorisasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal vaksin. Nah, ini baru benar!

Tiba-tiba, Luhut kembali mengumumkan bahwa Indonesia akan melakukan vaksinasi pada pekan ketiga Desember 2020 dengan target sekitar sembilan juta orang di wilayah spesifik, yang berkontribusi besar pada tingginya kasus Covid-19. Pernyataan itu ia sampaikan saat menghadiri acara The 7th Singapore Dialogue on Sustainable World Resources (SDSWR) secara virtual, Rabu (4/11).

Duh, bukankah Presiden Joko Widodo telah mengingatkan agar segala hal tentang vaksin harus bersandarkan pada sains? Ia menyerukan untuk berhati-hati dan tak tergesa-gesa dalam pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi demi menjamin vaksin yang didapat memenuhi kriteria aman dan efektif.

Narasi seperti arahan Presiden seharusnya sudah menjadi pegangan bagi pejabat negara dalam mengomunikasikan progres pengadaan vaksin. Merujuk pada rekomendasi ITAGI, emergency use authorization (EUA) alias izin penggunaan darurat bagi vaksin baru bisa dikeluarkan andaikan kondisi pandemi tak bisa dikendalikan ketika strategi testing, tracing, dan treating sudah optimal dijalankan. Bagaimana dengan Indonesia? Belakangan, jumlah testing dan tracing berkurang ya... Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan bahwa testing yang dilakukan minimal 1.000 per 1 juta penduduk per pekan.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pada Rabu (4/11) menjelaskan, penurunan jumlah testing terjadi karena adanya perbaikan dan penyelarasan koordinasi pelaporan data dari daerah ke pemerintah pusat. Ia juga mengakui ada penurunan pengujian Covid-19 tiap akhir pekan dan libur panjang. Satu PR lagi buat pemerintah.

Ketersediaan vaksin

Berikutnya, mari kita tengok soal isu ketersediaan vaksin. Kok bisa ya, pemerintah mengabarkan pasokan segera tiba, sementara vaksinnya saja belum kelar diuji coba, belum ada laporan interimnya? Kabarnya, laporan sementara uji klinis di Bandung selesai pada akhir tahun 2020 dan laporannya baru akan diberikan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pada Januari 2021.

Tenaga kesehatan yang didata untuk penyuntikan vaksin pun sempat galau membubuhkan namanya. Mereka dibayangi kekhawatiran harus menyuntikkan vaksin yang belum teruji.

Bukankah vaksinasi di bawah mekanisme emergency use authorization juga tetap tak boleh mengabaikan aspek keamanan? Kandidat vaksin harus melewati uji klinis untuk bisa dipertimbangkan penggunaannya.

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), untuk bisa memenuhi dua kriteria aman dan efektif, kandidat vaksin Covid-19 harus diuji coba dulu pada populasi Indonesia. Soalnya, secara teori, efektivitas vaksin dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari jenis kelamin, ras, dan faktor komorbid. Dengan uji klinis pada manusia di Indonesia, menurut PDPI, akan terlihat apakah vaksin-vaksin yang ada memang memproteksi.

Dari situ, kita bisa kerucutkan, dari sembilan kandidat yang sudah berada di tahap uji coba Fase 3 di seluruh dunia, vaksin yang paling mungkin diadopsi di Indonesia sementara ini baru Sinovac. Itupun, menurut Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia, jumlah relawan yang terlibat sedikit. Cuma 1.620 relawan di Bandung, Jawa Barat yang mengikuti uji klinis, sementara di Brasil angkanya mencapai sembilan ribu relawan dan di China 3,5 juta relawan.

Di Amerika Serikat, dua kandidat vaksin juga sempat disebut-sebut bisa didistribusikan pada awal November 2020, sebelum hari pemilihan presiden. Kenyataannya, vaksin Pfizer dan Moderna yang jadi kandidat kuatnya juga belum rampung uji coba.

Terkini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS mengungkap, vaksin paling cepat tersedia pada akhir tahun dan vaksinasi baru bisa digulirkan 2021. Negara besar itu pun masih harus bergulat dengan masalah logistik penanganan virus corona dan pengadaan fasilitas penyimpanan vaksin saat pendistribusiannya.

Bagaimana dengan Indonesia? Road map vaksinasi kenyataannya masih sedang disusun. Kandidat vaksin, penyusunan tahapan prioritas penerima vaksin, hingga persiapan logistik dan SDM untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 belum rampung dibahas.

Fakta tentang vaksin seharusnya dinarasikan dengan berimbang oleh pemerintah. Di Amerika, anggota Gugus Tugas Penanganan Pandemi bentukan presiden AS, dr Anthony Fauci, tak segan berseberangan dengan Donald Trump soal penanganan Covid-19, termasuk soal vaksin. Ia bahkan mengingatkan bahwa vaksin generasi pertama yang penting dapat mencegah perburukan gejala pada orang positif Covid-19, meski tidak membunuh virus penyebabnya.

Di Inggris, Ketua Gugus Tugas Covid-19 Kate Bingham mengingatkan bahwa generasi pertama dari kandidat vaksin virus Covid-19 kemungkinan besar tidak sempurna, belum dapat mencegah orang terinfeksi virus corona. Vaksin hanya mengurangi gejala dan bahkan mungkin tidak bekerja untuk semua orang atau untuk waktu yang lama.

Keberimbangan informasi

Narasi utuh seperti itu akan memudahkan masyarakat melihat gambaran besarnya. Masyarakat jadi lebih paham, penemuan vaksin tak otomatis berarti Covid-19 akan sirna.

Orang yang divaksin, sistem kekebalan tubuhnya bisa melawan kalau suatu ketika terpapar virus SARS-CoV-2. Kalaupun jatuh sakit jadinya tidak parah.

Gambarannya mirip vaksin varicella untuk cacar air. Penyakitnya masih ada meski vaksinnya sudah lama ada kan...

Semoga saja ke depannya ilmuwan bisa menyempurnakan vaksin Covid-19 agar mampu mengeradikasi virus corona tipe baru itu, seperti smallpox (cacar) yang dinyatakan lenyap dari muka bumi sejak 1980.

Kalau informasinya tidak utuh, bisa-bisa nanti masyarakat akan mendapat rasa aman yang semu atau malah menolak divaksin. Berdasarkan survei yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Unicef, ada 7,60 persen responden yang tak mau divaksinasi. Alasannya mencakup ketidakyakinan dengan keamananan dan efektivitas vaksin, takut efek samping vaksin, dan tidak percaya vaksin. Ada juga yang menolak divaksin karena dalih agama dan alasan lainnya. PR lainnya untuk pemerintah dan kita semua nih.

Masyarakat harus tahu bahwa vaksin penting untuk mengatasi pandemi. Di lain sisi, kalaupun sudah ada vaksin, kita masih terus harus pakai masker, menjaga kebersihan tangan, dan menjaga jarak setidaknya sampai 70 persen penduduk divaksinasi. Jalan menuju target 70 persen tervaksinasi itu akan ditempuh dalam waktu tahunan, tidak sekejap selesai.

Berita baik memang harus disampaikan, tapi bukan untuk menciptakan optimisme yang menjerumuskan. Berita buruk juga tetap harus dikabarkan, tanpa harus menimbulkan kengerian berlebihan.

* penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement