Kamis 05 Nov 2020 07:21 WIB

Selama Pandemi, 77,5% Keluarga Menghemat Pengeluaran Pangan

Sebanyak 59,7 persen keluarga memilih untuk membeli pangan yang harganya lebih murah.

Prof Euis Sunarti, Guru Besar bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga IPB University.
Foto: Dok IPB University
Prof Euis Sunarti, Guru Besar bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga IPB University.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pandemi Covid-19 mendorong pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan diri agar dapat bertahan dari dampak virus tersebut. Perubahan besar yang dirasakan masyarakat adalah adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi aktivitas bekerja serta mencari nafkah bagi banyak keluarga.

Konsekuensi yang terjadi adalah terjadinya penurunan fungsi instrumental yaitu perolehan sumberdaya ekonomi keluarga yang berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan pokok, terutama pangan. Menanggapi hal tersebut, Prof Dr Euis Sunarti, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (IKK-Fema) melakukan survei daring mengenai ketahanan keluarga saat pandemi Covid-19 pada periode April dan Juni 2020.

“Tujuan survei ini adalah untuk mengelaborasi strategi pangan yang dilakukan keluarga. Strategi coping pangan merupakan upaya yang dilakukan seseorang dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan dalam mempertahankan tujuan keluarga, baik itu dalam pemenuhan konsumsi pangan, maupun mata pencaharian, " ucap Guru Besar bidang Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga ini dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (4/11).

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa status pendidikan responden sebagian besar berpendidikan tinggi (Diploma, S1, S2, S3), yaitu 83 persen pada survei pertama dan 74 persen pada survei kedua. Perolehan data strategi coping pangan yang dilakukan oleh responden pada bulan pertama dan kedua mengungkapkan bahwa sebagian besar responden, tepatnya sebesar 77,5 persen, memilih untuk menghemat pengeluaran untuk pangan keluarga. Dan 59,7 persen memilih untuk membeli pangan yang harganya lebih murah.

 

“Di samping itu, sebesar 79,6 persen keluarga tidak mengurangi porsi makan, 76,6 persen tidak mencari informasi bantuan pangan serta pada presentase yang hampir imbang yaitu sebesar 50,6 persen tidak mengurangi jenis lauk yang dikonsumsi,” ujarnya.

Pada bulan kedua, strategi pangan yang dilakukan responden tidak menunjukkan perubahan bahkan terjadi peningkatan persentase yang lumayan besar untuk membeli pangan yang harganya lebih murah, yaitu menjadi 69 persen.

Berdasarkan data strategi tersebut, Prof Euis menyimpulkan bahwa responden cenderung menunjukkan pola strategi coping pangan yang relatif sama. Sebanyak 7-8 delapan dari 10 keluarga melakukan penghematan pengeluaran untuk pangan. Disusul dengan membeli pangan yang lebih murah harganya, yang dilakukan oleh 6-7 dari 10 keluarga. Lalu sebanyak 1 dari 2 keluarga melakukan pengurangan jenis lauk yang dikonsumsi, mencari informasi bantuan pangan dan terakhir melakukan pengurangan porsi makan yang dilakukan oleh 1  dari 5 keluarga.

Menurutnya, data tersebut menunjukkan besarnya masalah kesejahteraan keluarga saat pandemi Covid-19 terjadi. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar dalam rumah tangga, sehingga dapat menjadi indikator dasar kesejahteraan keluarga. Maka, bila sebuah keluarga mengalami ketidaktahanan pangan (food insecurity), hal tersebut menunjukkan bahwa adanya ketidaktahanan keluarga. “Terjadinya ketidaktahanan pangan saat dua bulan pandemi berlangsung, berkaitan erat dengan masalah ketahanan ekonomi keluarga,” ujarnya.

Ia menyebutkan bila hal tersebut sesuai dengan data lain yang menunjukkan bahwa sekitar 53 persen keluarga hanya memiliki jumlah tabungan yang kurang dari dua bulan pemenuhan kebutuhan keluarga. Padahal,  sebagian besar keluarga memiliki pendidikan yang tinggi.

“Hasil survei tersebut dapat menjadi gambaran mengenai urgensi dan krusialnya pembangunan keluarga, pembangunan yang ramah keluarga, khususnya peningkatan ketahanan ekonomi keluarga bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia,” kata Prof Euis Sunarti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement