Rabu 04 Nov 2020 16:53 WIB

Islam di Belarus, Terpinggirkan Sejak Era Soviet Berkuasa

Umat Islam di Belarus menjalankan agama dalam kondisi keterbatasan

Umat Islam di Belarus menjalankan agama dalam kondisi keterbatasan. Ilustrasi umat Islam
Foto: Republika/Yasin Habibi
Umat Islam di Belarus menjalankan agama dalam kondisi keterbatasan. Ilustrasi umat Islam

REPUBLIKA.CO.ID, Islam mulai menyebar di Belarus pada abad ke-14. Pangeran-pangeran Lithuania yang menguasai negeri tersebut pada masa itu mempekerjakan kaum Muslimin Tatar dari Crimea dan Horde Emas sebagai penjaga perbatasan negara.

Sebagian dari orang-orang Tatar itu kemudian memilih menetap di Belarus dan hidup membaur bersama masyarakat setempat.  Hingga akhir abad ke-16, tercatat lebih dari 100 ribu orang Tatar yang bermukim di Belarus.

Baca Juga

Mayoritas Muslim Tatar yang tinggal di Belarus adalah pengikut Mazhab Hanafi. Sampai hari ini, mereka tetap mempertahankan tradisi-tradisi Islam yang diwariskan sejak generasi leluhur mereka.

Saat ini  jumlah Muslim yang tinggal di Belarus saat ini diperkirakan mencapai 96 ribu jiwa atau sekitar satu persen dari total penduduk negara itu. Mereka membentuk 25 komunitas yang tersebar di beberapa kota, seperti Minsk, Ivye, Smilovichy, Slonim, dan Navahrudak.  

 

Menurut catatan sejarah, komunitas Muslim sudah menetap di Belarus sejak berabad-abad yang lampau. Keberadaan umat Islam memberi warna tersendiri bagi kehidupan beragama di negara bekas Uni Soviet tersebut.

Mereka hidup berdampingan dengan baik bersama masyarakat non-Muslim, terutama Kristen. Namun, selama beberapa waktu belakangan, mereka harus menghadapi berbagai cobaan dari pemerintah.

Ketika rezim komunis Soviet berkuasa, banyak rumah ibadah yang dihancurkan. Sebagai akibatnya, kaum Muslimin Belarus sampai hari ini harus menghadapi minimnya sarana ibadah. Sekarang ini hanya ada 10 masjid dan mushala yang beroperasi di Belarus. 

“Budaya Islam kini memiliki pijakan yang lemah di Belarus. Bahkan, untuk membeli daging halal saja merupakan hal yang sulit di ibu kota Minsk,” ungkap Ryhor Astapenia dalam artikelnya “Is Radical Islam a Threat for Belarus?” yang dipublikasikan buletin Belarus Digest. 

Selain minimnya masjid, Muslim Belarus kini juga menghadapi masalah lain yang tak kalah peliknya. Di antaranya isu radikalisme yang mulai disematkan pemerintah setempat kepada mereka. Pada akhir November 2014, sebanyak 20 Muslim ditangkap pihak keamanan Belarus karena dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok radikal. 

Penangkapan tersebut tak ayal mengundang tanda tanya besar di kalangan Muslim di negara itu. Namun, dalam pernyataan resminya, pihak berwenang Belarus mengaku hanya menerapkan langkah-langkah pencegahan sebelum kalangan “Islamis” melakukan aksi “kejahatan.”

photo
Muslim Belarusia - (Worldbulletin)

Stigma “penjahat” yang dialamatkan kepada Muslim itu tentu saja melukai hati umat Islam Belarus. Apalagi, kecurigaan semacam itu dapat menimbulkan sikap diskriminasi terhadap kaum Muslimin yang sudah hidup turun-temurun di negara itu. 

Bahkan, menurut sebuah sumber, di Badan Intelijen Belarusia (KGB) saat ini sudah dibentuk bagian khusus yang bertugas untuk memantau segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan Islam. 

Tokoh Muslim Belarus, Rustam Hasenevich, mengatakan, kaum Muslimin di negaranya saat ini berada di bawah kontrol yang ketat dari pemerintah. “Badan-badan intelijen mengendalikan segala sesuatu yang terjadi di kalangan umat Islam di negara ini. Pada Jumat, para agen mematai-matai aktivitas di masjid. Mereka tahu apa saja yang dibicarakan oleh orang-orang Islam,” ujarnya  

Tantangan yang dihadapi kaum Muslimin Belarus tidak berhenti di situ saja. Masih pada November 2015 lalu, pemerintah di negara itu mengeluarkan aturan yang melarang para Muslimah mengenakan hijab (jilbab) saat sesi pemotretan untuk foto paspor mereka. 

Larangan tersebut sempat menuai kritik dari kalangan umat Islam. Mufti Belarus saat itu, Ali Varanovich, mengatakan, menutup aurat bagi Muslimah adalah kewajiban agama. Oleh karenanya, ia menilai larangan yang dikeluarkan pemerintah tersebut bisa mengarah kepada diskriminasi terhadap kebebasan beragama.  

“Masalah ini bakal menjadi masalah serius. Karena, larangan tersebut secara efektif akan menumbuhkan sikap ketidakpercayaan antara komunitas Muslim dan pemerintah,” ujar Varanovich. 

Meskipun menuai kritik dari kalangan Muslim, Pemerintah Belarus tetap melanjutkan kebijakan kontroversial tersebut. Hari ini, para Muslimah Belarus harus menanggalkan jilbab ketika menjalani sesi pemotretan untuk foto-foto di dokumen resmi mereka.     

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement