Selasa 03 Nov 2020 14:19 WIB

Menag: Penguatan Literasi Keagamaan Penting di Era Disrupsi

Menag mengingatkan umat beragama perlu membuka diri terhadap perubahan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Menag: Penguatan Literasi Keagamaan Penting di Era Disrupsi. Foto: Menteri Agama Fachrul Razi
Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Menag: Penguatan Literasi Keagamaan Penting di Era Disrupsi. Foto: Menteri Agama Fachrul Razi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi saat pembukaan International Symposium on Religious Life (ISRL) 2020 menyampaikan bahwa sekarang ada gejala beragama secara instan dan simbolik. Maka perlu disikapi dengan penguatan literasi keagamaan, edukasi publik, dan membawakan ajaran agama secara diskursif dan mencerahkan.

"Semua umat beragama perlu membuka diri terhadap perubahan, berdamai atau adaptif dengan kondisi disruptif ini, sehingga mampu melakukan sikap terbaik dalam menghadapinya," kata Menag saat membuka ISRL 2020 secara virtual pada Selasa (3/11).

Baca Juga

Menag mengatakan, dunia kini sedang berubah drastis, terutama disebabkan pandemi Covid-19 yang menerpa semua negara di seluruh dunia. Menurutnya perubahan revolusioner dunia saat ini juga tidak semata terkait adanya virus yang tidak tampak itu.

Dunia memang tengah mengalami disrupsi di berbagai bidang sebagai keharusan sejarah atau sunnatullah. Pada mulanya disrupsi melanda dunia bisnis sejak awal 2018. Kemudian disrupsi mulai mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat hingga cara beragama umat.

Menag menjelaskan, disrupsi juga berdampak pada cara pandang dan sikap beragama masyarakat. Kehidupan manusia yang serba mudah dan instan dengan teknologi digital dapat menyebabkan terjadinya deprivatisasi keberagamaan.  

"Ajaran agama yang pada mulanya diajarkan pihak-pihak yang otoritatif kini menjadi terbuka. Siapa saja merasa berhak menafsir agama dengan bantuan mesin pencari meski dengan ilmu yang terbatas dan parsial," ujarnya.

Menag menjelaskan, dinamika tersebut perlu disikapi dengan arif. Sikap ekstrem dalam beragama misalnya, perlu disikapi dengan moderasi beragama.

Menag menegaskan, penting dicatat bahwa yang dimoderasi adalah cara beragamanya, bukan agamanya itu sendiri. "Karena agama sejatinya sudah moderat, selalu mengajarkan nilai-nilai keseimbangan dan jalan tengah," jelas Menag.

Menag berharap, melalui ISRL ini dapat didiskusikan berbagai fenomena kehidupan keagamaan di era disrupsi tersebut. Supaya dapat mengontribusikan berbagai pemikiran dan strategi untuk bahan kebijakan keagamaan secara praktikal. Lebih jauh untuk menjaga martabat dan peradaban manusia pada umumnya.

 

ISRL tahun 2020 yang diselenggarakan secara daring dan luring adalah simposium ketiga yang mengusung tema utama 'Kehidupan Beragama, Etika, dan Martabat Manusia di Era Disrupsi'. ISRL kali ketiga ini akan menyoroti peran agama dan etika di era disruptif, di mana era tersebut disinyalir telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia.

ISRL yang digelar di Bogor pada 2-5 November 2020 ini akan menyajikan pembicara dari 12 negara. Di antaranya dari Indonesia, Australia, Singapura, Vietnam, Thailand, Malaysia, Iran, Pakistan, Bulgaria, Belanda, Swiss, dan Amerika Serikat. ISRL juga akan dihadiri baik secara luring maupun daring oleh kurang lebih 700 peserta, dari dalam dan luar negeri.

ISRL 2020 diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kemenag, khususnya Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan yang berkolaborasi dengan Asosiasi Peneliti Agama Indonesia (APAI), Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS-UGM), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement