Selasa 03 Nov 2020 13:25 WIB

Siapa 'Petinggi Kita' di Polri yang Dimaksud Napoleon?

Dalam dakwaan, jaksa mengungkap Napoleon meminta bagian uang suap untuk atasannya.

Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (2/11). Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima uang sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp6,1 miliar untuk penghapusan red notice terhadap Djoko Tjandra. Republika/Thoudy Badai.
Foto: Reoublika/Thoudy Badai
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (2/11). Irjen Napoleon Bonaparte didakwa menerima uang sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau Rp6,1 miliar untuk penghapusan red notice terhadap Djoko Tjandra. Republika/Thoudy Badai.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

"Naik Ji (Tommy Sumardi) jadi Rp 7 (miliar) Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'Petinggi kita ini'."

Baca Juga

Kalimat di atas adalah pernyataan Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte yang ditirukan oleh jaksa Wartono saat membacakan dakwaan terhadap Napoleon di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11). Napoleon kemarin, didakwa menerima 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS atau sekitar Rp 6 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap diberikan agar Napoloen bersama Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Dalam dakwaan terungkap frasa 'petinggi kita' yang diduga disebut oleh Napoleon mengacu kepada atasan Napoleon dan Prasetijo yang juga berhak kebagian jatah uang suap dari Djoko Tjandra. Uang suap diberikan Djoko Tjandra kepada dua jenderal polisi itu melalui perantara, Tommy Sumardi.

Dalam dakwaan dijabarkan, awalnya Tommy Sumardi diminta Djoko Tjandra untuk melihat status red notice dirinya di Indonesia. Sebelumnya, Djoko Tjandra mendapatkan informasi dari Interpol, bahwa red notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.

"Agar Djoko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Djoko Soegiarto Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp 10 miliar melalui H Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," kata jaksa Wartono.

Tommy lantas meminta bantuan kepada Mantan Kabiro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo, di kantornya. Tommy meminta Prasetijo untuk memeriksa status red notice Djoko Tjandra.

Prasetijo lalu mengenalkan Tommy Sumardi kepada Napoleon selaku Kadiv Hubinter Polri saat itu. Pada 16 April 2020, Tommy dengan membawa paper bag warna gelap (merah tua) tiba di ruangan Napoleon yang berada di Gedung TNCC Mabes Polri. Dalam persidangan praperadilan Napoleon sebelumnya, diketahui paper bag itu berisi sejumlah uang.

Saat itu, Tommy menanyakan kepada Napoleon ihwal status interpol red notice Djoko. Lalu, Napoleon mengaku akan memeriksanya dan meminta Tommy untuk datang kembali keesokan harinya.

Keesokan harinya, Tommy bersama Prasetijo menemui Napoleon Bonaparte di ruangan Kadiv Hubinter Polri. Dalam pertemuan tersebut Napoleon menyampaikan bahwa red notice Djoko bisa dibuka, karena kantor pusat Interpol di Lyon yang membuka.

Dalam pertemuan itu, Napoleon mengaku bisa membantu menghapus red notice di Indonesia asal dibayar Rp 3 miliar. Pada 27 April, Djoko Tjandra memerintahkan sekretarisnya, Nurmawan Fransisca untuk menyerahkan uang senilai 100 ribu dolar AS ke Tommy Sumardi.

Tommy pun kembali menemui Napoleon bersama Brigjen Prasetijo. Di tengah perjalanan menuju tempat Napoleon, Prasetijo pun sempat melihat isi tas Tommy yang berisi 100 ribu dolar AS  

Prasetijo pun menanyakan jatah duit untuk dirinya ke Tommy. Akhirnya, uang itu 'dibelah dua' oleh Prasetijo. Singkat cerita, Tommy dan Prasetijo tiba di ruangan Napoleon.

Prasetijo kemudian menyerahkan sisa 50 ribu dolar AS itu ke Napoleon. Namun, Napoleon tidak mau menerima uang tersebut.

Napoleon pun meminta harga senilai Rp 7 miliar dengan alasan untuk mengamankan atasannya juga. Dalam dakwaan, tidak disebut 'petinggi kita' yang dimaksud Napoleon.

Tommy akhirnya menyerahkan uang sekitar Rp 6 miliar secara bertahap kepada Napoleon di ruang kerjanya. Total, uang suap dari Djoko Tjandra tersebut diberikan Tommy kepada Napoleon dengan perincian 200 ribu dolar Singapura dan  270 ribu dolar AS.

Setelah menerima uang dari Djoko Tjandra, Napoleon

memerintahkan Komisaris Besar Polisi Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ditujukan kepada pihak Imigrasi sebagaimana Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1000/V/2020/NCB-Div HI tanggal 29 April 2020. Surat itu berisi Penyampaian Informasi Pembaharuan Data, yang ditandatangani oleh Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.

"Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat  ND Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database Daftar Pencarian Orang (DPO) yang terdaftar dalam INTERPOL Red Notice melalui jaringan 1-24/7, dan berkaitan dengan hal dimaksud dinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi," tutur jaksa.

Kemudian, Napoleon kembali memerintahkan Tommy Aria Dwianto untuk membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1030/V/2020/NCB-Div Hl tanggal 4 Mei 2020, perihal Pembaharuan Data Interpol Notices yang ditandatangani oleh atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham RI.

"Adapun isi surat tersebut pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice," ujar jaksa Wartono.

Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

 

photo
Djoko Tjandra - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement