Senin 02 Nov 2020 20:10 WIB

Selama Masih Pandemi, Ekonomi Diprediksi Sulit Positif

Bila pasti minus 3 persen, kondisi ekonomi Indonesia diyakini membaik.

Sejumlah warga menunggu kedatangan Bus Transjakarta di Halte Gelora Bung Karno, Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III diprediksi akan kembali minus, artinya Indonesia secara resmi masuk resesi ekonomi.
Foto: Aprillio Akbar/ANTARA
Sejumlah warga menunggu kedatangan Bus Transjakarta di Halte Gelora Bung Karno, Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III diprediksi akan kembali minus, artinya Indonesia secara resmi masuk resesi ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Idealisa Masyrafina, Rizky Suryarandika, Sapto Andika Candra, Antara

Presiden Joko Widodo mengungkap perkiraan pertumbuhan ekonomi kuartal III. Seperti sudah pernah disebut oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di kuartal III ekonomi masih akan terkontraksi di angka minus.

Baca Juga

Presiden hari ini menyebutkan Indonesia diperkirakan masuk resesi akibat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III diprediksi di angka minus sekitar 3 persen. Dalam istilah ekonomi, resesi resmi terjadi ketika negara dua kali berturut-turut mengalami kontraksi atau tumbuh minus ekonomi negaranya.

Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Pieter Abdullah, selama pandemi memang pertumbuhan ekonomi sulit mencapai angka positif. "Selama pandemi masih berjangkit ekonomi kita tidak mungkin bisa tumbuh normal. Yang bisa kita lakukan adalah menjaga agar perekonomian kita bisa bertahan, dan kalaupun terjadi penurunan, penurunannya minimal," ujar Pieter kepada Republika.co.id, Selasa (2/11).

Pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II tahun ini yakni minus 5,32 persen. Apabila sesuai rilis Badan Pusat Statistik (BPS) mendatang dipastikan pertumbuhan ekonomi minus di sekitar 3 persen, maka ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya.

Presiden Jokowi juga menyebutkan bahwa angka ini menunjukkan bahwa RI dalam kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Menurut catatan Republika, Asian Development Bank (ADB) memperkirakan ekonomi negara berkembang Asia akan menyusut 0,7 persen pada 2020, dengan Asia Tenggara kemungkinan akan turun 3,8 persen.

Asia Selatan kemungkinan akan terkena dampak paling parah. Sementara negara-negara yang bergantung pada pariwisata, seperti Fiji dan Maladewa, telah mengalami kontraksi ekonomi yang memilukan hingga 20 persen.

Menurut Pieter, saat ini ekonomi masih bisa dijaga dan pernyataan Presiden Jokowi menunjukkan bahwa Pemerintah akan berupaya agar ada perbaikan pertumbuhan ekonomi hingga kuartal I tahun depan. "Sehingga ketika pandemi berakhir misalkan di kuartal II tahun 2021, ekonomi kita bisa benar-benar bangkit," kata Pieter.

Salah satu yang berusaha digenjot oleh Pemerintah adalah melalui investasi. Namun menurut Presiden Jokowi, investasi sebagai salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi, masih terkontraksi hingga minus 6 persen sepanjang Juli-September.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi langsung mencapai sebesar Rp 191,9 triliun sepanjang kuartal II 2020. Angka ini turun turun 8,9 persen year to date (ytd) dari kuartal I 2020 dan turun 3,4 persen secara year on year (yoy) dibandingkan Kuartal II 2019.

Realisasi ini jauh di bawah target yang ditetapkan Presiden yaitu agar kinerja investasi dijaga tidak tembus minus 5 persen. "Meskipun kalau di pertumbuhan ekonomi, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)/investasi mengalami koreksi. Selama pandemi investasi saya kira pasti turun," kata Pieter.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai Presiden Jokowi belum mampu membawa Indonesia keluar dari resesi dengan melihat prediksi tersebut. "Angka proyeksi pemerintah tersebut menggambarkan strategi pemulihan ekonomi pemerintah sampai dengan Tw (triwulan) III 2020 belum mampu menghidarkan Indonesia dari zona resesi, padahal tadinya target Tw III adalah terhindar dari resesi," kata Eko.

Eko memandang kinerja pemerintah belum menunjukkan hasil maksimal guna memulihkan ekonomi. Meski selama beberapa bulan ini pemerintah gencar melaksanakan banyak program. "Jadi sebenarnya peran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) belum optimal kalau melihat data  ini," ujar Eko.

Eko meminta pemerintah lebih serius menangani pandemi Covid-19 agar pertumbuhan ekonomi bisa didongkrak lagi. Walau ia sebenarnya pesimistis Indonesia bisa keluar dari zona minus di kuartal IV.

"Kalau upaya menangani pandemi bisa terkendali maka ekonomi Tw IV 2020 berpotensi membaik lagi, mungkin masih minus tapi semakin kecil," ucap Eko.

Serapan Belanja

Untuk memperbaiki kondisi ekonomi, Presiden meminta seluruh kementerian dan lembaga memaksimalkan serapan belanja pada akhir tahun 2020. Jokowi menyebutkan, kuartal IV merupakan kesempatan terakhir yang dimiliki pemerintah untuk memperbaiki kinerja pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2020.  

Belanja pemerintah memang menjadi andalan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, setelah konsumsi rumah tangga yang biasanya menjadi penggerak utama PDB justru anjlok akibat pandemi Covid-19. Konsumsi rumah tangga terkontraksi hingga minus 5,51 persen pada kuartal II lalu, dan diprediksi kembali tertekan minus 4 persen pada kuartal III.  

"Sehingga menjadi kewajiban kita semuanya untuk memperkuat demand. Sehingga konsumsi akan menjadi lebih baik. Belanja, spending, harus menjadi kejar-kejaran kita semuanya," kata Jokowi dalam pembukaan sidang kabinet paripurna, Senin (2/11).

Kendati kuartal IV 2020 belum rampung, Jokowi sudah mulai mengingatkan seluruh kementerian/lembaga untuk ancang-ancang mempercepat belanja di kuartal I 2021 mendatang. Ia ingin agar perbaikan kinerja ekonomi yang bisa dicapai pada akhir tahun ini tetap bisa berlanjut di awal tahun depan.

"Begitu bapak ibu sudah menerima yang namanya DIPA, itu sudah bisa langsung ada lelang. Sehingga nantinya, kita harapkan Januari-Maret tidak stuck, setelah kuartal IV langsung drop. Kita harapkan kuartal IV ada ungkitan juga untuk naik," kata Jokowi.

Khusus untuk awal tahun 2021, presiden memberi arahan agar belanja pemerintah untuk penyaluran bantuan sosial menjadi prioritas. Jokowi meminta penyaluran program perlindungan sosial masyarakat bisa disiapkan sebelum akhir tahun 2020, sehingga realisasinya bisa lebih cepat.

Penyaluran bansos ini, selain bisa mendongkrak belanja pemerintah, juga bisa menjadi pengungkit daya beli masyarakat sehingga konsumsi rumah tangga ikut meningkat.

"Sedangkan yang belanja-belanja modal, terutama infrastruktur di Kementerian PUPR, Kemenhub, dan kementerian lain yang bisa digiring untuk segera dimulai," kata Jokowi.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan peningkatan daya beli masyarakat juga menjadi fokus pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. "Daya beli memang masih rendah, kita melihat bahwa ini yang harus kita perhatikan," kata Menko Airlangga, Senin (2/11).

Menko Airlangga menjelaskan upaya untuk memperbaiki daya beli masyarakat tersebut adalah dengan mendorong sisi permintaan melalui realisasi bantuan sosial seperti program subsidi gaji dan semi bansos seperti Kartu Pra Kerja. Saat ini, lanjut Menko Airlangga, subsidi gaji atau upah dianggarkan sebesar Rp 37,87 triliun dengan manfaat Rp 2,4 juta per pekerja. Targetnya adalah 15,7 juta pekerja yang masih menerima gaji dan aktif membayarkan iuran kesehatan.

"Untuk yang belum bekerja, pemerintah memberikan semi bansos melalui Kartu Pra Kerja," ujar Menko Airlangga.

Pemerintah juga mengeluarkan berbagai bantuan kepada pelaku usaha, misalnya kebijakan insentif perpajakan, subsidi bunga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), penempatan dana pada bank, dan penjaminan kredit UMKM. Tidak hanya itu, kata dia, kepada sektor yang sama pemerintah juga memberikan banpres produktif, pembiayaan investasi kepada korporasi, penjaminan kredit korporasi, dan Penyertaan Modal Negara (PMN) dan pemberian pinjaman BUMN.

Bantuan lainnya adalah Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang merupakan bantuan sebesar Rp2,4 juta per pelaku usaha yang diberikan kepada usaha ultra-mikro yang tidak sedang menerima kredit dari perbankan.

Program tersebut telah menyasar 12 juta pelaku usaha mikro, dengan anggaran awal sebesar Rp 22 triliun, dan kini mengalami perluasan menjadi Rp 28 triliun. Terkait realisasi penempatan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kepada Bank Himbara untuk tahap II telah mencapai Rp 47,5 triliun dengan keseluruhan penyaluran kredit per 16 Oktober 2020 mencapai Rp 166,39 triliun.

Sementara itu, penempatan Dana PEN kepada BPD untuk tahap I dan tahap II telah mencapai Rp 14 triliun, dengan penyaluran kredit pada 16 Oktober 2020 sebesar Rp 17,39 triliun. Kemudian dari penempatan dana PEN kepada Bank Syariah sebesar Rp 3 triliun, total penyaluran kredit pada 16 Oktober 2020 telah mencapai Rp 1,7 triliun.

Dalam kesempatan ini, Menko Airlangga juga menyatakan bahwa pemerintah mendorong transformasi ekonomi usai Covid-19, salah satunya melalui utilisasi industri dengan target di atas 60 persen.

Pembenahan itu akan fokus pada perbaikan rantai pasok, kegiatan hilirisasi, transformasi 4.0, akselerasi infrastruktur, transformasi UMKM melalui platform digital, pemanfaatan energi terbarukan, dan UU Cipta Kerja. Secara keseluruhan, menurut Menko Airlangga, strategi pemulihan ekonomi akan didorong melalui sektor makanan dan minuman, tekstil, automotif, kimia, elektronik, farmasi, dan alat kesehatan.

"Ini juga didorong untuk melakukan subtitusi impor dan peningkatan hilirisasi, sehingga masyarakat atau petani mendapatkan nilai tukar yang lebih baik," kata Menko Airlangga.

photo
Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang ditempatkan pemerintah di perbankan nasional. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement