Senin 02 Nov 2020 12:55 WIB

Napoleon Didakwa Terima Suap untuk Hapus Nama DT dari DPO

Suap berawal ketika Djoko Tjandra yang sedang berada di Malaysia ingin mengajukan PK.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11/2020).
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, didakwa menerima uang 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Suap diberikan agar Napoloen bersama Brigjen Pol Prasetijo Utomo menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi. 

"Bahwa terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Brigjen Prasetijo Utomo masing-masing selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima uang 200 ribu dolar Singapura dan sejumlah  270 ribu dolar AS dari Joko Soegiarto Tjandra," ujar Jaksa Penuntut Umum Wartono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (2/11). 

Dalam dakwaan disebutkan, Napoleon menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri ketika Djoko Tjandra meminta bantuan lantaran namanya sudah masuk dalam DPO sejak 2009 dalam perkara pengalihan hak tagih (//cessie//) Bank Bali. Napoloen disebut melakukan penghapusan nama tersebut bersama-sama dengan Brigjen Prasetijo yang merupakan Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri. 

Kepada Prasetijo, Napoleon memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi.

Suap berawal ketika Djoko Tjandra yang sedang berada di Malaysia ingin mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) demi bebas dari semua jeratan hukum. Namun, persyaratan PK mengharuskan Djoko Tjandra datang langsung ke Indonesia, sementara saat itu Djoko Tjandra masih menjadi buron.

Jaksa menyebut, perbuatan Napoeon yang membantu Djoko Tjandra bertentangan dengan kewajibannya sebagai polisi yang seharusnya melakukan penangkapan terhadap Djoko Tjandra jika masuk ke Indonesia. 

"Terdakwa seharusnya menjaga informasi Interpol hanya untuk kepentingan Kepolisian dan penegakan hukum serta bertentangan pula dengan kewajibannya untuk tidak menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji," ujar jaksa. 

Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. 

Adapun, sidang terhadap Napoleon digelar di ruang sidang utama Hatta Ali, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Hakim Muhammad Damis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement