Sabtu 31 Oct 2020 05:01 WIB

Indonesia Bermutu Kupas Malpraktik Pengembangan Kurikulum

Mengevaluasi dan merevisi kurikulum merupakan keniscayaan.

Prof Hamid Hasan
Foto: Istimewa
Prof Hamid Hasan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurikulum merupakan dokumen nasional yang menggambarkan arah grand design pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, rancangan sebuah kurikulum tidak dapat dilepaskan dari akar budaya dan filosofi bangsa tersebut. Melalui dokumen kurikulum tergambar langkah-langkah strategis bagaimana membangun suatu bangsa dengan menjawab persoalan yang sedang dihadapi hari ini dan bagaimana mengantisipasi tantangan  di masa depan.

Dengan demikian, Indonesia tidak  dapat meng-copy kurikulum dari negara manapun, sebaik apapun kurikulum mereka. Kurikulum yang baik menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang harus dikuasai  dan dialami oleh siswa.

Untuk itu,  aspek terpenting dalam sebuah kurikulum adalah memastikan terjadinya perubahan kemampuan peserta didik  dari waktu ke waktu secara keseluruhan (sikap, keterampilan dan pengetahuan) sesuai akar budaya dan falsafah berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya perubahan sikap, keterampilan, dan pengetahuan setiap peserta didik ke arah yang lebih baik, dipastikan bahwa kurikulum tersebut tidak terimplementasi. 

Demikian kesimpulan diskusi interaktif (sawala)  yang diselenggarakan oleh  Indonesia Bermutu, Ahad  (25/10)  yang diselenggarakan secara online. Diskusi yang   mengangkat topik “Malpraktik Pengembangan Kurikulum” itu diikuti oleh 108 peserta terdiri dari guru, praktisi, dan dosen. 

Prof Hamid Hasan, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Ahli Kurikulum mengatakan, malpraktik dalam suatu perumusan kebijakan terjadi ketika dalam proses penyusunannya tidak mengikuti kaidah dan prosedur yang seharusnya sehingga berpotensi terjadinya kekeliruan yang berdampak luas ketika kebijakan itu dijalankan. Terkait dengan pengembangan kurikulum sebagai bagian dari dokumen kebijakan nasional, ada beberapa ketentuan yang harus diikuti, termasuk pelibatan publik sejak awal proses pengembangan.

“Mengingat risiko dan pertanggungjawaban jangka panjangnya,  kurikulum harus dikembangkan oleh lembaga yang memang diberikan kewenangan untuk itu, dan secara profesional harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi, pengetahuan, keahlian, serta pengalaman di bidang pengembangan kurikulum,” kata Prof  Hamid Hasan dalam rilis yang diterima Republika.co.id

Ia menambahkan, keahlian di bidang  ilmu tertentu saja tidak cukup untuk menjadi pengembang kurikulum.  Sebab,  kesahihan sebuah kurikulum sangat ditentukan oleh keahlian para pengembang dalam menempatkan rangkaian kompetensi, pengalaman belajar, dan konten dalam sebuah tatanan atau susunan yang berkesinambungan serta dikuatkan oleh dasar filosofi yang jelas. 

Artinya, kata dia, keahlian di suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu harus didukung oleh pengalaman sebagai pengembang kurikulum. Itu semua sudah diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satunya yang terbaru adalah  Peraturan Menpan RB Nomor 57 tahun 2020.  “Ketentuan-ketentuan tersebut tidak boleh dilanggar. Jika terjadi pelanggaran, yang bertanggung   jawab sepenuhnya adalah pihak yang  menunjuk tim penyusun kurikulum,” ujarnya. 

Ia menegaskan, mengevaluasi dan merevisi kurikulum merupakan keniscayaan, dan penyederhanaan kurikulum-pun juga keniscayaan, tapi harus jelas apanya yang disederhanakan.  Kalau bicara persoalan, kurikulum di negara manapun di dunia selalu ada persoalan. “Untuk itu,  sebuah kebijakan kurikulum yang terindikasi adanya malapraktik, harus dihentikan,  jika kita tidak ingin anak-anak kita tersesat berkepanjangan,” paparnya.

Prof Burhanuddin Tola, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, dan juga ahli Penilaian Pendidikan  mengatakan, kurikulum yang baik harus secara terus-menerus dievaluasi oleh guru.  Karena,  gurulah yang paling tahu apa yang dibutuhkan oleh peserta didiknya. “Gurulah yang memahami keragaman potensi, kebutuhan, minat, dan bakat, serta keunikan setiap peserta didik,” kata Prof Burhanuddin.

Ia menambahkan, seyogyanya, setiap anak itu memiliki “kurikulum” masing-masing. Menurutnya,  sebuah kebijakan dalam pendidikan tidak boleh menghambat setiap anak untuk memilih cara terbaik bagi mereka untuk membangun kompetensi masing-masing. “Standard minimal diperlukan sebagai rambu-rambu dalam memilih dan menentukan strategi belajar yang tepat bagi setiap anak sehingga tidak ada anak yang salah jalan dalam proses belajar,” ujarnya. 

Prof Awaluddin Tjalla, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Ahli Konseling dan Psikologi pendidikan  mengemukakan, aspek terpenting dalam sebuah kurikulum adalah upaya mengakomodasi variasi kebutuhan, minat, dan potensi setiap peserta didik. Kurikulum memberikan ruang yang cukup bagi setiap anak untuk memenuhi kebutuhan, minat, dan potensinya sebagaimana yang dituntut dalam tujuan pembelajaran.

“Dengan demikian, setiap anak dapat membangun jati diri, potensi, dan pada gilirannya dapat berkontribusi secara tepat dalam pembangunan bangsa sebagai wujud dari kepribadian mereka yang mencerminkan warga negara yang bertanggung jawab terhadap diri, bangsa, negara dan agama,” kata Prof Awaluddin. 

Rahmat Syehani, praktisi pendidikan dan direktur Nurul Fikri Education Center (NFEC) mengatakan, melalui kurikulum akan terlihat dengan jelas sikap, keterampilan, dan pengetahuan (kompetensi)  yang harus dimiliki oleh setiap siswa, bagaimana guru mengondisikan  aktivitas yang dialami oleh siswa, serta bagaimana sistem evaluasi yang efektif.  “Sehingga,  dapat memastikan bahwa proses pembelajaran benar-benar terjadi dan  siswa mengalami perubahan ke arah yang lebih baik,” tuturnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement