Jumat 30 Oct 2020 16:22 WIB

Sistem Kesehatan Uni Eropa Kewalahan Tangani Covid-19

Kasus covid-19 di Uni Eropa telah mencapai 10 juta.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Covid-19
Foto: Pixabay
Ilustrasi Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS — Sistem perawatan kesehatan Uni Eropa berisiko mengalami kewalahan dengan jumlah kasus infeksi virus corona (COVID-19) yang tidak terkendali. Hal ini dikatakan hanya dapat dicegah jika pihak berwenang bertindak cepat.

“Penyebaran virus akan membanjiri sistem perawatan kesehatan jika kami tidak bertindak segera,” ujar kepala Komisi Eropa, Ursula Von Der Leyen dalam konferansı pers pada Kamis (29/10), dilansir Asia One.

Baca Juga

Von Der Leyen mengatakan Komisi Eropa menyediakan 220 juta euro atau sekitar 351 juta dolar AS untuk membiayai transfer lintas batas pasien COVID-19 di seluruh negara Uni Eropa. Hal ini bertujuan untuk menghindari sistem perawatan kesehatan di negara yang paling terkena dampak tidak dapat mengatasinya.

Komisi Eropa juga akan bekerja untuk melakukan validasi secara cepat di tingkat Uni Eropa, diantaranya dengan melakukan tes antigen cepat. Eropa mulai menghitung biaya pembatasan besar-besaran pada kehidupan sosial yang diberlakukan untuk menahan lonjakan kasus COVID-19.

Sementara itu, Inggris dilaporkan terus berupaya untuk tidak mengikuti langkah Jerman dan Prancis dalam memberlakukan aturan pembatasan lockdown (karantina wilayah) kedua kalinya. Ketika pandemi COVID-19  menyebar ke seluruh dunia, Eropa menjadi episentrum di mana benua ini menghadapi potensi kemerosotan ekonomi yang berkepanjang, bersamaan dengan krisis kesehatan masyarakat.

"Jumlah total kasus yang dikonfirmasi telah berpindah dari 7 menjadi 9 juta hanya dalam 14 hari, dan, hari ini, Eropa melampaui tonggak 10 juta kasus," jelas Hans Kluge, direktur regional Eropa di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Namun, dari pemodelan yang dilakukan menunjukkan bahwa pemakaian masker secara sistematis pada tingkat 95 persen dapat menyelamatkan hingga 266 ribu nyawa pada 1 Februari di 53 negara anggota WHO di Eropa. Prancis dan Jerman  telah memberlakukan aturan pembatasan ketat seperti lockdown fase pertama pada Maret dan April lalu.

Seluruh bar dan restoran di dua negara tersebut kembali ditutup. Sementara, pergerakan orang-orang dibatasi, sekolah dan sebagian besar bisnis tetap diizinkan dibuka.

Di Inggris, negara dengan jumlah COVID-19 terbesar di Eropa mengatakan akan tetap menggunakan sistem lockdown lokal. Hal ini diputuskan, meski sebuah studi baru menunjukkan kasus di Inggris terus berlipat ganda setiap sembilan hari.

"Keputusan pemerintah saat ini adalah bahwa lockdown nasional secara menyeluruh tidak tepat, akan lebih merugikan daripada menguntungkan," kata Menteri Perumahan Inggris Robert Jenrick kepada Times Radio.

Jerman telah menyisihkan sekitar 10 miliar Euro untuk membantu usaha kecil yang terkena langkah-langkah baru itu.  Menteri Ekonomi Jerman Peter Altmaier mengatakan negara itu tidak mengalami keruntuhan industri seperti yang terjadi pada fase awal pandemi.

“Perekonomian begitu kuat sehingga kami tidak tergelincir ke dalam periode resesi yang panjang, tetapi produksi tidak akan kembali ke tingkat sebelum pandemi sampai setidaknya tahun 2022,” jelas Altmaier.

Secara terpisah, Gubernur Bank of France (Prancis) Francois Villeroy de Galhau mengatakan penurunan produk domestik bruto (PDB) yang diperkirakan pada akhir tahun seharusnya tidak separah pada paruh pertama tahun ini setelah lockdown awal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement