Selasa 27 Oct 2020 23:26 WIB

'Menjadi Sociopreneur Bukan Profesi yang Instan'

Sociopreneur siap untuk tidak dibayar dan dibayar berapa saja.

Ilustrasi.
Foto: dok Jakflo
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alumnus Departemenn Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB University Ekanti Lusi Sulistiowaty atau Lusi Ismail mengatakan menjadi sociopreneur tidak bisa instan.

"Untuk menjadi sociopreneur bukanlah profesi yang yang instan. Sejak dulu telah memiliki jiwa sosial yang tinggi untuk dapat bermanfaat bagi orang lain," ujar Lusi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (27/10).

Dia menambahkan pengalamannya menjadi pengusaha maka harus membangun sisi sosial sejak lama.

"Karena memang dari sejak awal hobi saya itu adalah berbagi, sampai akhirnya menjadi sociopreneur," jelas dia.

Lusi Ismail merupakan salah satu perangkai bunga dan interiorscaper di Indonesia. Pendiri PT Edelweiss Cantiqa Lestari tersebut memulai usaha pada 2008, dan saat ini telah beralih dari seorang pengusaha menjadi sociopreneur.

Setelah lulus, Lusi Ismail pernah menjadi penata flora di Istana Presiden selama belasan tahun, tepatnya 2002-2013. Ia juga tergabung dalam organisasi Asosiasi Bunga Indonesia dan Ikatan Perangkai Bunga Indonesia.

Lebih lanjut ia menjelaskan, perbedaan antara entrepreneur dan sociopreneur terletak pada tujuan utama yang dituju. Pasalnya, entrepreneur memiliki identitas untuk meraih keuntungan berbasis materi. Sedangkan sociopreneur akan memiliki tujuan utama sosial yang pada beberapa sisi dapat memberikan keuntungan.

"Sociopreneur itu siap untuk tidak dibayar dan siap untuk dibayar berapa saja."

Semasa kuliah, Lusi tidak memiliki minat untuk bekerja di perusahaan. Ia lebih memilih untuk menghasilkan uang dan berkarier dari apa yang ia tekuni.

Bermula dari menikmati pengalaman ketika jalan kaki di kampus IPB University dengan mengoleksi bunga-bunga di jalanan. Lusi terus menekuni hal tersebut hingga mengantarkannya ke kegiatan internasional di Jepang.

Saat itu ia dikirim oleh Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) yang saat ini organisasinya bernama Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (Ditjen PEN).

"Kuncinya itu adalah scan, screen, dan implement. Saya menjadi laboratorium untuk diri sendiri. Scan maksudnya adalah kita scan diri kita yaitu muhasabah, sedangkan screen itu penyaringan pada apa yang kita scan, sampai akhirnya nanti tahu apa yang bisa diimplementasikan. Scan, screen maupun implement, semuanya membutuhkan pengetahuan,” tandasnya.

Pada masa pandemi, sektor yang digeluti Lusi menjadi bagian dari sektor yang terdampak. Namun hal itu tidak lantas membuat semangatnya surut, Lusi tetap mampu berkarya dengan menjadi narasumber di berbagai acara untuk berbicara tentang interiorscaper dan budidaya tanaman hias di dalam atau luar ruangan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement