Senin 26 Oct 2020 18:33 WIB

MAKI Soroti Manipulasi Harga Teri Bantuan Covid-19

Pengadaan teri untuk bantuan Covid-19 di NTB bernilai Rp 2,8 M.

MAKI soroti laporan dugaan penggelembungan (mark-up) harga pengadaan ikan teri kering yang masuk pada paket bantuan masyarakat terdampak Covid-19 di NTB.
Foto: Antara/Rahmad
MAKI soroti laporan dugaan penggelembungan (mark-up) harga pengadaan ikan teri kering yang masuk pada paket bantuan masyarakat terdampak Covid-19 di NTB.

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyoroti penanganan laporan dugaan penggelembungan (mark-up) harga pengadaan ikan teri kering yang masuk pada paket bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS) Gemilang untuk masyarakat terdampak Covid-19. Dugaan manipulasi harga ikan teri kering ditemukan di NTB.

"Dalam persoalan ini, penegak hukum harus jaga kepercayaan publik karena hukum bisa tegak dan adil jika mendapat kepercayaan dan dukungan publik," kata Boyamin Saiman melalui sambungan teleponnya, Senin (26/10).

Baca Juga

Boyamin menilai dugaan mark-up yang muncul dari laporan masyarakat tersebut sudah sepantasnya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum tanpa menunggu hasil pemeriksaan akhir di lingkup Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), dalam hal ini Inspektorat NTB. Bahkan, secara keadilan hukum, jika fakta dan buktinya cukup kuat, menurut Boyamin, kejaksaan, Polri, dan KPK tetap bisa memprosesnya secara hukum tanpa harus menunggu hasil dari APIP.

"Justru jika saling menunggu (hasil pemeriksaan APIP), dikawatirkan barang buktinya akan hilang," ujarnya.

Meskipun dalam aturan pelaksaan realisasi anggaran kedaruratan, penyelesaian masalah lebih didahulukan secara administratif. Namun, Boyamin menegaskan bahwa pihaknya kurang mendukung kebijakan tersebut.

"Memang sekarang aturannya begitu. Meskipun demikian, saya tetap protes," ucap Boyamin.

Sebelumnya, Asisten Bidang Intelijen (Asintel) Kejati NTB Munif mengatakan potensi mark-up bisa muncul di tengah kondisi darurat sekarang ini karena melihat mekanisme pelaksanaan proyek tidak melalui proses lelang. "Jadi, pihak rekanan bisa ajukan hitungannya sendiri ke instansi yang bersangkutan tanpa melalui proses lelang. Di situlah kalau tidak ada pendampingan, potensi mark-up bisa muncul," kata Munif.

Menurut dia, biasanya naiknya harga barang atau jasa dalam kondisi sekarang ini karena berlakunya hukum ekonomi. Kebutuhan meningkat di tengah ketersediaan yang terbatas.

"Alasan itu yang sering kali digunakan, teori ekonomi," katanya.

Namun, potensi tersebut bisa dicegah. Dalam hal ini, kata dia, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) harus lebih selektif.

"Harus lihat harga kewajaran dan juga harus perhatikan anggaran yang tersedia, jangan sampai tidak cukup (ketersediaan anggaran), terus iya-iya saja," ujarnya.

Begitu juga dengan memberikan pendampingan saat pembayaran kepada pihak rekanan dengan mengedepankan fungsi pengawasan dari inspektorat ataupun BPKP. Pendampingan itu, kata Munif, mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2015 tentang Percepatan Pengadaan Barang dan Jasa serta Inpres Nomor 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

"Jadi, ketika ada penyimpangan, yang dikedepankan itu penyelesaian melalui APIP (aparat pengawasan intern pemerintah) atau inspektorat, pidana itu pilihan terakhir," katanya.

Penanganan kasus dugaan mark-up ini masuk ke meja Kejati NTB berdasarkan laporan masyarakat. Namun, sekarang penanganannya bertumpu pada hasil pemeriksaan Inspektorat NTB yang kini sedang menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTB.

Oleh karena itu, laporan masyarakat terkait dengan dugaan mark-up harga ikan teri dalam pengadaan tersebut masih berkutat pada tahap pengumpulan data dan bahan keterangan.

"Jadi, sekarang kami sifatnya menunggu dan memonitor perkembangannya sampai ke inspektorat. Kalau sampai batas waktu belum ada ganti rugi, baru Kejati NTB akan turun tangan. Kami langsung naikkan persoalannya ke lidik," ucap Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan.

Pemerintah daerah menyerahkan tanggung jawab pengadaan ikan teri kering kepada Dinas Kelautan dan Perikanan NTB. Ikan teri kering ini merupakan pengganti untuk item telur pada JPS Gemilang Tahap I.

Pada Tahap II, Dinas Kelautan dan Perikanan NTB menggunakan perusahaan milik daerah dari PT Gerbang NTB Emas (GNE) sebagai pengumpul produk olahan UKM/IKM dengan menyalurkan anggaran Rp 2,8 miliar. Pihak dinas menggandeng sekitar 20 UKM/IKM untuk memproduksi ikan teri kering jenis lore. Harga perkemasan 250 gram senilai Rp 19 ribu. Produknya disiapkan sebanyak 125.000 sesuai dengan jumlah keluarga penerima manfaat (PKM) JPS Gemilang Tahap II.

Untuk Tahap III, Dinas Kelautan dan Perikanan NTB menggandeng enam penyedia ikan teri kering jenis ijo dari kalangan perusahaan swasta. Dengan kesiapan anggaran Rp 2,4 miliar, harga beli per kemasan ukuran 250 gram senilai Rp 15 ribu. Pada penyaluran bantuan sosial Covid-19 terakhir ini, pemerintah menyalurkannya kepada 120.000 PKM.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement