Selasa 27 Oct 2020 11:42 WIB
Rumah Gagasan

Pandemi dan Great Reset

Isu global seperti revolusi industri 4.0 dan great reset sebaiknya jadi pertimbangan.

Winda Nur Cahyo
Foto: dokpri
Winda Nur Cahyo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Winda Nur Cahyo*

Pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini sudah memasuki bulan kedelapan dan belum menunjukkan tanda-tanda akan menurun. Bagi para pelaku bisnis dan pengambil keputusan, hal ini semakin menambah besar proporsi ketidakpastian di dalam lingkungan bisnis atau pengambilan keputusan. 

Dalam teori pengambilan keputusan, ketidakpastian ini dapat dikurangi dengan cara mengakuisisi informasi dan informasi adalah data yang sudah diolah dan diberi makna melalui satu konteks tertentu. Salah satu cara mengakuisisi informasi adalah melalui pengenalan pola (pattern recognition). 

Sehingga, dengan mengenali pola di dalam lingkungan bisnis atau pengambilan keputusan maka akan dapat membantu untuk mengurangi ketidakpastian di dalam proses pengambilan keputusan sehingga dapat meningkatkan kualitas keputusannya. Sekarang mari kita lihat pola di dalam lingkungan bisnis, politik, dan global yang menurut saya terjadi dalam kurun waktu yang berulang setiap sepuluh tahun. 

Pada tahun 2000-an, ada isu tentang globalisasi di mana terjadi pergerakan perdagangan, pergerakan manusia, dan diseminasi pengetahuan yang masif. Sekitar sepuluh tahun kemudian, antara 2010 dan 2011 muncul isu revolusi industri 4.0 yang hingga saat ini masih berlangsung dan berkembang. Pada 2020, karena dampak dari pandemi global Covid-19 muncul isu tentang great reset. 

Bagi para pengambil keputusan, isu global seperti revolusi industri 4.0 dan great reset sebaiknya menjadi pertimbangan dalam menjadi salah faktor determinan dalam proses pengambilan keputusan. Great reset pertama kali disampaikan oleh Richard Florida dalam bukunya yang berjudul "The Great Reset". 

Di dalam interpretasi saya, di dalam buku tersebut Richard Florida mengemukakan teori terdapat sebuah pola yang mirip yang terjadi di dalam resesi di Amerika Serikat pada tahun 1870-an dan 1930-an. Hal ini kemudian digunakan untuk mendiskripsikan the future of cities berdasarkan teori urban development dan krisis keuangan di Amerika Serikat pada 2007 hingga 2008. 

Sekali lagi menurut interpretasi saya, secara umum pola yang terjadi adalah sebagai berikut: Tahap 1: Terdapat Old Society dengan old way of living and work. Di dalam old society ini kemudian terjadi crash khususnya financial crash yang menyebabkan old institutions menjadi bangkrut, bisnis- bisnis dan konsumen memangkas pengeluaran mereka 

Tahap 2: Kondisi ini kemudian munculkan inovasi-inovasi baru yang kemudian berkembang menjadi teknologi-teknologi baru yang tertempa dan menyatu menjadi satu sistem yang lebih besar dan lebih baik.

Tahap 3: Dampak dari hal ini akan memunculkan new society dengan cara hidup dan cara bekerja yang baru serta menjadi lebih makmur dan sejahtera. Hal ini disebut post-crash prosperity.

Bagaimana dengan isu great reset di 2020 dan 2021? Pada 2020 dan awal 2021, tidak ada tanda-tanda signifikan akan terjadi financial crash, hingga tiba-tiba muncul pandemi global Covid-19. Pandemi ini menyebabkan terjadi financial crash yang menyebabkan banyak bisnis dan konsumen memangkas drastis pengeluaran mereka bahkan banyak bisnis hingga ritel besar terindikasi bangkrut dan muncul ancaman resesi global. 

Di dalam tahapan great reset, ini memasuki tahap 1. Beberapa pihak kemudian mulai menggaungkan fenomena ini dengan isu great reset di mana akan muncul inovasi-inovasi baru yang akan tertempa dan menyatu menjadi teknologi baru. Meski belum sepenuhnya memasuki tahap 2 dan tahap 3, namun sudah ada beberapa pihak yang masuk ke jajaran orang kaya baru di dunia karena pandemi Covid-19 ini seperti yang dirilis oleh Forbes. Kemudian bagaimana kita bisa bertahan dan beradaptasi dengan dengan kondisi ini?

Salah satu kuncinya ada di tahap 2, yaitu kita harus memunculkan inovasi-inovasi baru yang harus ditempa dan disatukan menjadi sebuah teknologi baru untuk menghadapi era baru. Teknologi ini yang kemudian akan memunculkan new post-crash prosperity. 

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan pendekatan Business Process Re-Engineneering (BPR) atau rekayasa ulang proses bisnis. Michael Hammer dalam bukunya tentang BPR mendefinisikan BPR sebagai "Fundamental rethinking and radical redesign of business process to achieve dramatic improvements in critical measures of performance such as cost, service, and speed”. Salah satu tipsnya adalah dengan obliterate what you have now and start from scratch

Di dalam BPR dikenal dengan adanya segitiga BPR yang terdiri dari Organisasi, Proses, dan Teknologi. Artinya, salah satu kunci sukses BPR adalah dengan mengimplementasikan teknologi yang mendukung proses bisnis baru yang didesain. Sehingga benang merah dari great reset dan BPR adalah bahwa dengan isu great reset di saat pandemi ini maka perlu dipikirkan untuk melakukan rekayasa ulang proses bisnis dengan bantuan teknologi yang nantinya akan memperbesar kemungkinan untuk mencapai post-crash prosperity pascapandemi.

Salah satu dasar yang bisa menjadi motivasi adalah bahwa Allah SWT di dalam QS Al Insyirah ayat 5: fa inna ma'al-'usri yusrā yang diulang lagi di ayat keenam: inna ma'al-'usri yusrā. Bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan, kemudahan tersebut ada bersamaan dengan kesulitan dan bukan datang setelahnya. Dengan kata lain kunci penyelesaikan masalah tersebut ada di dalam kesulitan yang sedang dihadapi. 

 

*Pakar Manajemen Aset, Dosen Jurusan Teknik Industri & Ketua Program Studi Teknik Industri Program Magister Universitas Islam Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement