Senin 26 Oct 2020 17:00 WIB

Mengapa Perantara Djoko Tjandra tak Jadi Didakwa Pasal Suap?

Andi Irfan sebelumnya sempat disangkakan menyuap hakim MA dalam kasus Djoko Tjandra.

Tersangka kasus dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya (kanan) berjalan usai menjalani pemeriksaan oleh kejaksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (18/9/2020). Andi Irfan Jaya diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Andi diduga bekerja sama dengan Pinangki dalam pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra dari eksekusi Kejaksaan Agung atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali.
Foto: RENO ESNIR/ANTARA
Tersangka kasus dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Andi Irfan Jaya (kanan) berjalan usai menjalani pemeriksaan oleh kejaksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (18/9/2020). Andi Irfan Jaya diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Andi diduga bekerja sama dengan Pinangki dalam pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra dari eksekusi Kejaksaan Agung atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Kejaksaan Agung (Kejagung) berharap persidangan terdakwa korupsi Andi Irfan Jaya, membuka fakta baru terkait keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk terpidana Djoko Tjandra. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono mengatakan, fakta baru yang terungkap di persidangan, mewajibkan kelanjutan tuntas skandal hukum yang turut melibatkan terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari tersebut.

Baca Juga

“Kita menunggu hasil dari persidangan. Kalau di persidangan muncul fakta baru, terbuka peluang untuk dilakukan penyelidikan,” kata Hari saat ditemui di Biro Pers Kejakgung, Jakarta, Senin (26/10).

Pernyataan Hari tersebut sebagai tanggapan resmi terkait dengan hilangnya sangkaan Pasal 6 ayat (1) a terhadap Andi Irfan. Hari mengakui, sangkaan pasal pemberian suap, gratifikasi terhadap hakim tersebut, tak masuk dalam dakwaan untuk politikus Nasdem itu.

Padahal, sangkaan Pasal 6 tersebut, melekat saat Andi Irfan ditetapkan sebagai tersangka, pada Rabu (2/9) lalu. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), saat itu menebalkan sangkaan berlapis menggunakan Pasal 5 ayat (2) juncto ayat (1) huruf b, dan Pasal 6 ayat (1) a, dan sangkaan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31/1999-20/2001.

Rangkaian sangkaan tersebut, terkait dengan penerimaan, dan pemberian suap kepada penyelenggara negara, dan hakim, serta permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Akan tetapi, dari salinan dakwaan yang dilansir SIPP PN Tipikor, Ahad (25/10) terhadap Andi Irfan, Jaksa Penuntut Umum (JPU), tak lagi memakai Pasal 6 ayat (1) a dalam dakwaan.

JPU hanya mendakwa Andi Irfan, dengan sangkaan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) a, dan Pasal 11 UU Tipikor sebagai dakwaan primer. Sedangkan sangkaan subsidair, JPU menggunakan sangkaan dalam Pasal 15.

Hari melanjutkan, penghapusan pasal suap, gratifikasi untuk hakim dari dakwaan Andi Irfan tersebut, lantaran proses penyidikan yang tak menemukan unsur perbuatan, pun alat bukti. “Karena penyidik tidak menemukan unsur perbuatan (Andi Irfan) sesuai dengan Pasal 6, karena itu, juga tidak ditemukan bukti,” terang Hari.

Menurut dia, penyidik cuma menjadikan basis penerimaan, dan pemberian suap, gratifikasi, dan persekongkolan jahat Andi Irfan, bersama Pinangki untuk melakukan korupsi.

“Jadi dia (Andi Irfan) hanya swasta, yang bersama-sama Pinangki sebagai penegak hukum melakukan tindak pidana korupsi berupa suap, dan permufakatan jahat,” terang Hari.

Sebelumnya, Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus Febrie Adriansyah mengatakan, tim penyidikannya tak menemukan bukti adanya penyuapan hakim dalam skandal fatwa terpidana Djoko Tjandra. Untuk itu, menurutnya dugaan perbuatan pidana pemberian, dan janji ke oknum di MA yang semula dituduhkan kepada tersangka Andi Irfan Jaya, tak dapat dipertahankan.

"Tidak ada bukti penyuapan (kepada hakim) itu," ujar Febrie, Kamis (15/10).

Febrie mengungkapkan, terhadap Andi Irfan, saat ini, penyidik masih fokus pada pemberkasan perkara untuk pelimpahan tahap dua ke jaksa penuntutan untuk diteliti sebelum disorongkan ke sidang pendakwaan. Menurutnya, bukti perbuatan yang menguatkan sangkaan, penyidikannya tetap mengandalkan Pasal 5 dan Pasal 15 UU Tipikor.

"Pasal 6 kita turunkan. Dia (Andi Irfan) masuk ke pasal permufakatan jahat (untuk melakukan korupsi)," katanya Febrie.

Persidangan perdana Andi Irfan sendiri, akan digelar di PN Tipikor Jakarta, pada Rabu (4/11) mendatang. Andi Irfan, menjadi perantara pemberian uang 500 ribu dolar (Rp 7,5 miliar) dari Djoko Tjandra kepada Pinangki.

Uang tersebut, panjar dari 1 juta dolar (Rp 15 miliar) yang dijanjikan Djoko Tjandra. Janji tersebut, terkait dengan imbal jasa dari Djoko Tjandra yang meminta Pinangki, dan Andi Irfan membuat skema pembebasan via fatwa MA.

Djoko Tjandra, membutuhkan fatwa bebas tersebut, karena statusnya sebagai terpidana yang dalam pelarian atau buronan Kejagung sejak 2009. Djoko Tjandra, pernah divonis dua tahun penjara oleh MA pada 2009, terkait korupsi hak tagih Bank Bali 1999 yang merugikan keuangan negara Rp 904 miliar. Namun, Kejagung waktu itu, tak dapat melakukan eksekusi putusan MA, karena Djoko Tjandra berhasil kabur ke luar negeri.

Sebelas tahun buron, Djoko Tjandra berniat kembali ke Indonesia untuk mengurus masalah hukumnya, termasuk sengketa bisnisnya. Fatwa bebas dari MA, sebagai jaminan agar Djoko Tjandra, dapat masuk ke Indonesia dan tak dapat dieksekusi ke penjara.

Pinangki, dan Andi Irfan menawarkan skema bebas Djoko Tjandra tersebut dengan membuat proposal Action Plan JC Case 2019. Proposal yang disepakati antara ketiganya, seharga 10 juta dolar (Rp 150 miliar).

Dalam dakwaan terhadap Pinangki, terungkap uang tersebut menurut rencana akan diberikan kepada pejabat Kejakgung berinisial BR, dan pejabat MA berinisial HA. Dengan penanggung jawab, Pinangki, dan Andi Irfan, serta DK dan IF yang sampai sekarang tak diketahui.

Akan tetapi, masih menurut penyidikan, pemberian uang kepada BR, dan HA tersebut, tak terealisasi. Penyidik meyakini, proposal pembebasan via fatwa MA tersebut, dibatalkan sendiri oleh Djoko Tjandra pada Desember 2019.

Pada Juni-Juli 2020, Djoko Tjandra berhasil masuk ke Indonesia dari Malaysia, via Pontianak menuju Jakarta, dan kembali pulang ke Kuala Lumpur. Pada 30 Juli, Djoko Tjandra ditangkap Bareskrim Polri di Malaysia, dan dibawa kembali ke Indonesia, untuk dijebloskan ke penjara.

photo
Action Plan Bebaskan Djoko Tjandra Lewat Fatwa MA - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement