Senin 26 Oct 2020 13:12 WIB

Normalisasi Hubungan Sudan-Israel Pecah Negeri 2 Nil

Ada pro dan kontra atas keputusan Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo (tengah) berbicara ketika Presiden AS Donald J. Trump (kiri) mendengarkan selama panggilan konferensi dengan para pemimpin Israel dan Sudan tentang perjanjian normalisasi hubungan Sudan-Israel di Gedung Putih
Foto: EPA-EFE
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo (tengah) berbicara ketika Presiden AS Donald J. Trump (kiri) mendengarkan selama panggilan konferensi dengan para pemimpin Israel dan Sudan tentang perjanjian normalisasi hubungan Sudan-Israel di Gedung Putih

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Sudan menjadi negara Arab ketiga yang menormalisasi hubungan dengan Israel, mengikuti langkah dua negara Arab Teluk lainnya Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Keputusan itu memecah rakyat dan kelas politik negara yang disebut Negeri 2 Nil.

Normalisasi hubungan diumumkan setelah Washington menghapus Sudan dari daftar negara yang mensponsori kelompok teror. Kesepakatan itu disegel dalam sambungan telepon antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok serta Ketua Dewan pemerintah trasisis Abdel Fattah al-Burhan.  

Baca Juga

Muncul spekulasi Sudan menandatangani kesepakatan itu untuk membalas langkah AS menghapus mereka dari daftar pendukung kelompok teror. Namun, Trump mengatakan Sudan dihapus dari daftar itu karena berjanji membayar kompensasi pada keluarga korban serangan teror sebesar 335 juta dolar AS.  

Dihapusnya Sudan dari daftar pendukung kelompok teror cukup penting bagi negara itu. Sebab akan mempermudah mereka mendapatkan dana hibah atau pinjaman dari luar negeri yang diperlukan pemerintah transisi.

Namun, normalisasi hubungan dengan Israel banyak ditentang oleh warga Sudan. Anggota komite revolusi di kota Elgiraif, Nazar Ahmed yang berusia 23 tahun mengatakan kesepakatan itu membuat malu para revolusioner Sudan.

Menurutnya, keputusan Khartoum untuk menormalisasi hubungan dengan Israel memalukan. Begitu pula bagi Hiba Osman yang berusia 21 tahun.

"Kami harus melihat negara-negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel dan apa manfaat yang mereka dapat, normalisasi hubungan dengan Isreal adalah ilusi besar yang dijual pemerintah Trump ke pemerintah kami," kata Osman.

Pernyataan gabungan yang dirilis usai sambungan telepon antara Trump, Netanyahu, dan Burhan menyebutkan kerja sama Sudan dan Israel akan fokus pada bidang perdagangan, terutama pada sektor pertanian.

"Para pemimpin sepakat untuk menormalisasi hubungan antara Sudan dan Israel dan mengakhiri permusuhan antar kedua negara mereka, para pemimpin sepakat untuk memulai hubungan ekonomi dan perdagangan, yang awalnya fokus pada pertanian," kata pernyataan tersebut.

"Para pemimpin juga sepakat delegasi kedua belah pihak akan bertemu dalam beberapa pekan ke depan untuk negosiasikan kesepakatan kerja sama di bidang tersebut serta teknologi pertanian, penerbangan, isu imigrasi dan bidang lain yang memberi manfaat pada rakyat kedua negara," tambah pernyataan itu.

Pernyataan itu juga menyebut insentif lain yang ditawarkan ke Khartoum untuk mendorong mereka menandatangani kesepakatan. Kabarnya Washington akan memberi dana sebesar 750 juta dolar AS untuk membantu Sudan bangkit dari keterpurukan ekonomi.

AS juga akan memberikan paket bantuan selama dua tahun yang terdiri dari bahan bakar, gandum dan obat-obatan. AS berjanji untuk memperbaiki kedaulatan Sudan dan mendorong mitra internasional mengurangi beban hutang mereka.

"Amerika Serikat dan Israel juga berkomitmen dengan mitra-mitra mereka untuk membantu rakyat Sudan memperkuat demokrasi, meningkatkan ketahanan pangan, melawan terorisme dan ekstremisme dan memanfaatkan potensi ekonomi mereka," kata pernyataan tersebut.

Aktivis Sudan Omar Sidahman mengatakan kesepakatan itu hanya memperkuat posisi militer di politik. "Ini bukan normalisasi, tapi lebih pada meningkatkan cengkraman junta militer terhadap kekuasaan eksekutif," tulsi Sidahman di Facebook.

Sementara itu, partai sayap kiri, Sudanese Congress Party dan Sudanese National Alliance, serta kelompok pemberontak Sudan Liberation Movement menyambut baik kesepakatan itu. Sementara partai sayap moderat Islam, National Umma Party (NUP) dan Partai Komunis Sudan menolak keras kesepakatan normalisasi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement