Kamis 22 Oct 2020 16:31 WIB

Tokoh Santri yang Dikenang Jadi Pahlawan Bangsa (3-Habis)

Besarnya pengaruh pesantren dan santri dalam memperjuangkan NKRI tak bisa dipungkiri.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Ani Nursalikah
Tokoh Santri yang Dikenang Jadi Pahlawan Bangsa (3-Habis). Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto: Gahetna.nl
Tokoh Santri yang Dikenang Jadi Pahlawan Bangsa (3-Habis). Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besarnya pengaruh pesantren dan santri dalam memperjuangkan NKRI tak bisa dipungkiri. Terlebih, ketika para tokoh atau pahlawan nasional, perjuangan, revolusi dan lainnya juga banyak yang berasal dari kalangan santri.

Di lingkungan pesantren itu, para santri yang kemudian dikenal bangsa sebagai pahlawan, memupuk sikap dan nilai perjuangannya atas penjajahan dari berbagai guru. Karenanya, di Hari Santri Nasional 22 Oktober ini, perlu dikenang kembali beberapa tokoh dari kalangan pesantren yang menjadi pahlawan.

Baca Juga

5. Pangeran Diponegoro 

Tak asing di telinga memang, pahlawan nasional ini kerap menghiasi buku-buku sejarah Indonesia dari pendidikan dasar. Pangeran Diponegoro atau Bendara Pangeran Harya Dipanegara lahir di Ngayogyakarta, 11 November 1785. 

Pangeran Diponegoro dikatakan juga sangat kental dengan santri dan pesantren. Apalagi, ketika lingkungan keluarganya juga mendukung hal itu. Lahir dengan nama asli Abdul Hamid, ia memulai masa remaja sebagai santri di pondok pesantren Gebang Tinanar, Ponorogo yang diasuh oleh KH Hasan Besari.

Semasa mudanya, Pangeran Diponeogoro juga diketahui mempelajari Kitab Kuning dan ilmu nahwu pada berbagai guru. Di antaranya adalah Kiai Baidlawi Bagelelan, Kiai Baidlawi, dan Kiai Nur Muhammad.

Perannya dalam kolonialisme memang sangat kentara. Terlebih, jika menyinggung perang Diponegoro atau perang jawa selama lima tahun, tepatnya (1825-1830). Dari konflik itu, keberhasilan dalam mengakhiri perang diabadikan, apalagi, korban dalam perang itu juga didaulat sebagai jumlah paling besar dalam sejarah nasional.

Namun sayang, mengutip Buku Berangkat dari Pesantren oleh KH Saifuddin Zuhri, pangeran Diponegoro sempat ditangkap setelah peristiwa pengkhianatan diplomasi Jenderal De Kock di Kota Magelang untuk dibuang ke Manado.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement