Kamis 22 Oct 2020 04:47 WIB

Hukum Penguasa Otoriter dan Demokratis

Di manakah beada hukum dalam penguasa otoriter dan demokratis?

Deklarator Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana diborgol.
Foto: @SaveMoslem1
Deklarator Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana diborgol.

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara

Alam politik boleh saja telah berubah dari otoritarian ke demokrasi. UUD juga boleh saja disebut demokratis. Demokrasi boleh saja dielu-elukan dan telah dikonsolidasi. Tetapi watak hukum politik tidak otomatis berubah. Kecuali manis dan indah di bibir, hukum di alam demokrasi terlihat sama pada seumlah aspek, dan tidak tidak benar-benar memuliakan manusia.

Penegakan hukum yang menyayat akal nurani, yang menjadi ciri penguasa angkuh, disana-sini terlihat terus eksis, bahkan bergerak naik di alam demokrasi. Watak hukum kotor yang menjijikan yang ditemukan pada kekuasaan angkuh, sombong, tamak khas Fir’aun, Nero dan Gaius Ferres di Romawi kuno itu, terlihat cukup gamblang disudut-sudut alam mutakhir demokrasi dunia.  

Penangkapan Buya Hamka 

 

Martin Luther King, Jr,  O. J. Simpson dan George Floyd, mati ditangan hukum  angkuh Amerika, negara yang di dunia ini ditunjuk tanpa ragu sebagai demokratis. Peristiwa-peristiwa itu, anehnya, tak sekalipun menyentak kesadaran orang-orang yang merasa terhina, dan memicu ilmuan-ilmuan hebat mempertanyakan keampuhan demokrasi. 

Demokrasi sejauh itu tetap terlihat sebagai hal yang benar-benar menjadi jawaban tepat, yang diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Ketidakmampuannya untuk diandalkan, tidak hanya menantang, tetapi merangsang penegak hukum menjauh dari hukum yang menjijikan, hanya menggema sebentar lalu segera hilang.

Apakah kemampuan demokrasi memukau manusia ditengah semua keburukannya yang telanjang, merupakan kekuataan tak terlihat yang disandang demokrasi? Itu soal yang cukup pelik untuk dianalisis. Apalagi Indonesia,  bangsa besar ini, telah berketetapan memilihnya sebagai sistem politik berbangsa dan bernegara.

Berketetapan memilih demokrasi, disebabkan kenyataan-kenyataan sejarah politik dan hukum sebelumnya, baik pada masa Presiden Soekarno maupun Soeharto. Dua rezim yang melambung dengan haluan politik pembangunan yang berdeda ini, ternyata sama. Sama-sama mengandalkan hukum memukul, menenggelamkan bahkan menghina orang-orang yang berbeda mimpinya tentang Indonesia bergerak maju.  

Mengandalkan hukum yang menjijikan memukul dan menyingkirkan orang-orang yang berbeda haluan politiknya itu nyata. Orang yang berbeda haluan politiknya itu, ditakdirkan rezim-rezim minus nurani sebagai lawan politiknya. 

Buya Hamka, Profesor doktor dan ulama yang tawaddu itu, tak terkecuali. Buya ditangkap dan ditahan rezim Sekarno. Itu terjadi di awal tahun 1964. Tepatnya pada tanggal 27 Januarui 1964.

 Bersenjatakan UU Nomor 5 PNPS tahun 1963, dikenal dengan UU Subversi, Buya ditangkap dan ditahan. Gilanya, penangkapan dan penahanan itu dilakukan dengan cara yang menjijikan. Menariknya, Presiden Soekarno malah membubuhkan parafnya pada surat penahanan sementara Buya Hamka. 

Profesor Dr. Ismail Suny, LLM, promotor saya, salah satu eksponen orde baru, yang dikenal sebagai tiga serangkai (Ismail Suny, A.H. Nasution dan Soeharto) pada masa awal orde baru, juga mengaami yang mirip dengan Buya. Pak Suny juga dipenjara untuk beberapa saat berdasarkan UU ini.

Tidak hanya Pak Suny, Dr. Adnan (Bang) Buyung Nasution, Ko-promotor saya, (semoga amal baik kedua almarhum diterima dan dibalas oleh Allah Subhanahu Wata’ala), juga dipenjara tanpa persidangan di pengadilan. Begitulah takdir bekerja, dan begitu pulalah kekuasaan bekerja. Mau apa. Begitulah kenyataannya. 

Dr. Sahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, dua anak adam yang pada zaman mudanya dikenal sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandungn (ITB), tentu tak sezaman dengan Buya Hamka, Prof Suny dan Bang Buyung, disisi lain ditangkap dan dipenjara rezim Soeharto. Juga berdasarkan UU Subversi. 

Penguasa punya cara sendiri memandang eksistensinya. Penguasa punya perspektif yang khas terhadap Rule of Law. Diimpikan untuk diandalkan memandu politik pada semua aspek, tetapi dalam kenyataan Rule of Law bekerja dengan cara khas rezim angkuh.  

Rule of law yang sejarah sosialnya berakar pada hasrat culas aristocrat - orang-orang kaya pada masa klasik- pada kasus Indonesia dirindukan sekali lagi, untuk hidup. Prinsip-prinsipnya minimumnya segera dikonsolidasikan ke dalam sistem politik baru, yang serta-merta bergerak naik menyusul berhentinya Pak Harto. 

Takdir punya cara menyertai anak adam, Dr. Sahganda dan Jumhur, kini ditangkap dan ditahan dibawah  pemerintahan Presiden Jokowi. Ini menarik. Tetapi bukan karena mereka ditangkap dan ditahan lagi. 

Hal yang membuat menarik untuk diperiksa secara seksama adalah bagaimana penangkapan itu dilakukan. Apaklah penangkapan Dr. Sahganda, Jumhur, Ustazah Kingkin dan lainnya berlangsung sama dengan penagkapan BUya Hamjka?  

Manis betul kala polisi dari DEPAK mendatangi kediaman Buya Hamka usai Buya melaksanakan ba’da dzuhur di Masjid Al-Azhar. Kala tiba diuram usai ba’da dzuhur itu, telah menanti empat orang polisi dari DEPAK. 

Hanya empat orang, tidak lebih, yang dikirim ke rumah Buya menangkap dirinya. Setiba di rumah, Buya menyapa, memberi salam dan mereka salam-salaman. Khas ulama, Buya menanyakan maksud kedatangan mereka dengan santun.  

Asyik, para polisi menyampaikan maksud kedatangannya. Cukup santun mereka. Salah seorang polisi menyampaikan maksud kedatangan mereka untuk  menangkap Buya. Seorang lagi memperlihatkan surat penahanan sementara. Khas hukum rezim angkuh yang kelabakan, surat penahanan itu diparaf Presiden Soekarno.

Segera setelah itu, hukum yang menjijikan mulai bekerja. Kamar dan ruang kerja Buya diacak-acak. Aneh? Tidak untuk hukum pada rezim angkuh yang sedang kelabakan. Cara itu khas. Apalagi  pakai UU Subversi. 

Dalam pemeriksaan sesudahnya, Buya mengetahui dirinya dituduh terlibat gerakan subvertif di Pontianak, rapat gelap di Tangerang dan provokasi terhadap mahasiswa. Buya diidentifikasi sebagai angota Gerakan Anti Soekarno (GAS), gerakan yang mungkin ada di buku komik. 

Terhadap rapat gelap di Tangerang, yang dikarang bebas penyidik itu, Buya ditanya oleh Ispektur Muljo Kosoemo. Pertanyaannya begini, 1. Apa alasan saudara Hamka bergabung dengan gerakan gelap itu? Siapa Ketua dari gerakan itu? 3 Peran apa saudara Hamka berikan dalam gerakan gelap itu? 4 Dari mana dana untuk membiayai gerakan gelap itu? Dan 5, siapa saja tokoh yang melindungi gerakan gelap itu? 

Ini bukan pertanyaan bodoh. Ini pertanyaan khas kasus yang dibangun dari hasil mengarang bebas, alias kasus yang dikarang-karang. Karena tidak mengetahui perisitiwa, apa ada atau tidak, Buya harus jawab apa? Buya tidak bisa jawab, apalagi memberi jawaban benar. 

Sikap Buya ini membuat gusar Inspektur Muljo Kosoemo, yang sangat kasar itu. Inspektur jagoan ini segera mengancam akan menyetrum, bahkan menembak Buya (Lihat Haidar Musyafa, Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi, 2018, hal,  662-663). 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement