Rabu 21 Oct 2020 18:03 WIB

PSBB dan Stimulus AS Dorong Pelemahan Pasar Saham-Obligasi

Pemerintah merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk kuartal ketiga 2020.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Para pelaku pasar modal mengamati pergerakan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ilustrasi   (Dokumen Republika)
Para pelaku pasar modal mengamati pergerakan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ilustrasi (Dokumen Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar saham dan obligasi Indonesia sempat mengalami pelemahan kembali pada September lalu setelah tren menunjukkan perbaikan di beberapa sebelumnya. Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan mengatakan terdapat beberapa sentimen negatif dari global dan domestik yang membayangi pasar di bulan September.

Dari sisi global, menurut Katarina, pelaku pasar khawatir karena peningkatan kasus Covid-19 terutama di Amerika Serikat dan Eropa. "Kondisi ini dikhawatirkan memaksa pemerintah untuk kembali menerapkan lockdown yang dapat menghambat proses pemulihan ekonomi," kata Katarina melalui keterangan tertulis, Rabu (21/10).

Baca Juga

Selain itu, pasar juga dibayangi ketidakpastian pembicaraan stimulus tambahan Amerika Serikat (AS). Gubernur The Fed Jerome Powell beberapa kali menekankan ekonomi AS membutuhkan stimulus fiskal tambahan untuk mendukung pemulihan ekonomi. Namun hingga saat ini perdebatan masih terjadi dalam Kongres AS terkait besaran dan detail dari stimulus tersebut.

Pelaku pasar juga bereaksi terhadap penyelenggaraan Pemilu Presiden di AS pada awal November mendatang. Terdapat opini yang berkembang bahwa apabila Joe Biden – yang merupakan wakil partai Demokrat – terpilih sebagai Presiden maka pasar kemungkinan merespon negatif.

Menurut Katarina, kekhawatiran tersebut didasari beberapa kebijakan Biden yang dianggap tidak pro-bisnis. Beberapa diantaranya yaitu wacana menaikkan pajak korporasi, menaikkan upah minimum, dan memperketat regulasi untuk perusahaan teknologi.

Namun, Katarina menilai, dengan kondisi ekonomi AS yang lemah karena wabah Covid-19, akan sulit bagi pemerintah AS untuk menerapkan kebijakan yang tidak pro-ekonomi. Hal seperti ini terjadi di masa lalu dimana beberapa program Presiden Barrack Obama diundur untuk menghadapi krisis di tahun 2008.

Pada waktu itu Presiden Obama malah memajukan stimulus dalam jumlah sangat besar dan meneruskan program pemotongan pajak dari pendahulunya, Presiden Bush. "Oleh karena itu, dalam pandangan kami siapapun yang terpilih sebagai Presiden dalam Pilpres AS mendatang, fokus kebijakannya akan tetap suportif untuk ekonomi dan dunia usaha yang saat ini urgent untuk didukung," terangnya.

Sementara itu dari sisi domestik, lanjut Katarina, pasar dibayangi oleh sentimen terkait diterapkannya kembali PSBB di Jakarta pada September lalu. Kebijakan tersebut dikhawatirkan memberi tekanan terhadap proses pemulihan ekonomi.

 

DKI Jakarta menyumbang sekitar 17 persen terhadap PDB Indonesia, yang merupakan provinsi penyumbang ekonomi terbesar di Indonesia. Sehingga diberlakukannya PSBB dapat mempengaruhi pemulihan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga 2020.

Di sisi lain, dampak PSBB September diperkirakan tidak sebesar PSBB di periode April – Juni karena PSBB saat ini yang tidak seketat PSBB sebelumnya. Secara durasi, PSBB gelombang kedua jauh lebih pendek karena pada tanggal 12 Oktober PSBB Jakarta kembali dilonggarkan.

Namun mengingat peranan DKI Jakarta yang besar dalam perekonomian, pemulihan ekonomi diperkirkan tidak secepat perkiraan sebelumnya.

Pemerintah merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk kuartal ketiga 2020 ke kisaran minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen. Angka tersebut menunjukkan koreksi pertumbuhan PDB lebih dalam jika dibandingkan dengan proyeksi awal, yakni sebesar minus 2,1 persen hingga nol persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement