Selasa 20 Oct 2020 16:32 WIB

Perlukah Pengembangan Vaksin Lokal di Tengah Impor Vaksin?

Vaksin Merah Putih merupakan upaya jangka panjang agar tak bergantung vaksin impor.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Fuji Pratiwi
Menristek Bambang Brodjonegoro. Bambang mengatakan, pengembangan vaksin dalam negeri yakni Vaksin Merah Putih tetap relevan meski saat ini pengadaan vaksin Covid-19 dari hasil impor.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Menristek Bambang Brodjonegoro. Bambang mengatakan, pengembangan vaksin dalam negeri yakni Vaksin Merah Putih tetap relevan meski saat ini pengadaan vaksin Covid-19 dari hasil impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro menegaskan pengembangan vaksin dalam negeri yakni Vaksin Merah Putih tetap relevan. Meskipun, di saat yang bersamaan pemerintah terus mengimpor ratusan juta vaksin Covid-19 dari luar negeri. 

Bambang menyebut vaksin impor dari G42 asal Uni Emirat Arab maupun Sinovac dari China merupakan upaya jangka pendek pemerintah dalam mengatasi pandemi.

Baca Juga

"Kemungkinan besar vaksin dari manapun tidak akan bertahan seumur hidup, misal divaksin 2021, ada kemungkinan 2022 dan 2023 divaksin lagi. Maka Vaksin Merah Putih kami dikondisikan untuk jangka menengah panjang," ujar Bambang saat Webinar HUT ke-56 Partai Golkar secara virtual, Selasa (20/10).

Selain itu, kata Bambang, Vaksin Merah Putih tetap diperlukan mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Kehadiran Vaksin Merah Putih merupakan upaya pemerintah agar tidak terus menerus bergantung pada vaksin impor untuk jangka panjang. 

Dalam mengatasi pandemi, Bambang menyebut, pemerintah telah melakukan sejumlah cara. Mulai dari kerja sama dengan negara lain maupun mengembangkan vaksin sendiri. 

Bambang mengatakan, proses penemuan vaksin memerlukan waktu yang tidak sebentar lantaran harus mengedepankan keamanan bagi masyarakat. Ia mencontohkan AstraZeneca dari Eropa yang mana telah sepakat akan mengirimkan 100 juta dosis ke Indonesia.

Pada April lalu, AstraZeneca sempat menghentikan uji klinis hanya karena ada satu relawan yang mengalami gangguan di sistem saraf otak. "Hal-hal seperti ini harus dipastikan karena vaksin atau yang lainnya. Itu menunjukan aspek keamanan tidak bisa dikompromikan," ucap Bambang. 

Kata Bambang, tantangan lain yang dihadapi Indonesia ialah pada faktor distribusi vaksinasi. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar serta wilayah yang juga begitu luas. Bambang menilai proses vaksinasi tidak dilajukan secara serentak lantaran luasnya wilayah Indonesia.

"Ini mungkin sejarah pertama bagi kita melakukan vaksinasi semassal ini dalam waktu yang relatif pendek," kata Bambang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement