Selasa 20 Oct 2020 05:30 WIB

Salaman dengan Lawan Jenis Non-Mahram Boleh, Asal...

Pada dasarnya ulama sepakat soal hukum salaman dengan non-mahram

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Pada dasarnya ulama sepakat soal hukum salaman dengan non-mahram. Ilustrasi salaman.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Pada dasarnya ulama sepakat soal hukum salaman dengan non-mahram. Ilustrasi salaman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memahami suatu permasalahan hukum, asalkan ada dasar hukum syariat yang jelas, maka setiap argumentasi harusnya dapat disikapi dengan sikap saling bijak. Salah satunya adalah pandangan tentang boleh tidaknya berpegangan tangan dengan non-mahram.

Dalam buku Benarkah Bersalaman dengan non-Mahram itu Haram? karya Ahmad Zarkasih dijelaskan, bersalaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya itu disepakati halal oleh ulama. Yakni ketika bersalaman dilakukan di dalam satu kondisi darurat, dalam hal ini para ulama tidak saling berselisih paham mengenai halalnya berpegangan tangan dengan non-mahram.

Darurat sendiri didefinisikan ali Al-Jurjani dalam kitab At-Ta’rifat dengan istilah an-naazali mimmaa aa madfa’a lahu (sesuatu yang datang dan tidak bisa dicegah). Sedangkan Imam Az-Zarkasyi dalam kitabnya berjudul Al-Mantsur fi Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah menjelaskan definisi darurat.

Beliau menjabarkan, makna darurat adalah sesuatu yang sampainya seseorang pada kondisi di mana jika ia tidak melakukan hal tersebut (yang diharamkan), ia akan hancur (mati) atau mendekati kematian. 

Seperti orang yang terdesak untuk makan atau berpakaian, yang mana jika ia tetap kelaparan atau tetap telanjang, ia akan wafat. Atau bisa saja menyebabkan hilang atau juga disfungsi salah satu anggota tubuhnya. Dalam kondisi inilah, ia boleh melakukan sesuatu yang diharamkan.

Maka, darurat dalam masalah ini berarti bahwa bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram itu menjadi sesuatu yang sangat harus dilakukan dan tidak boleh tidak. Dengan kata lain, sifatnya sangat mendesak untuk dikerjakan sebab jika tidak maka akan berakibat fatal.

Adapun di sisi lain, ulama juga bersepakat bahwa bersalaman antara lai-laki dengan perempuan yang bukan mahram itu hukumnya haram. Alias tidak bisa ditawar-tawar jika di dalamnya memang ada fitnah dan juga dibarengi dorongan syahwat dari keduanya atau dari salah satu di antara keduanya.

Fitnah dan juga syahwat yang timbul menjadi garis dan batasan. Di mana jika keduanya atau salah satunya merasakan hal itu, maka haram lah hukumnya bersalaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya tadi.

Sedangkan fitnah dalam banyak teks syariah sering muncul dengan makna yang berbeda-beda pula. Terkadang fitnah itu dapat berarti musibah dan terkadang berarti juga sebagai ujian. Bahkan di dalam surah Al-Anfal ayat 39, fitnah dapat bermakna sebagai kekafiran.

Dalam hal berpegangan tangan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya, makna yang dicocokkan ulama adalah fitnah yang berarti keburukan. Atau dalam bahasa Arab disebut al-fadhihah. Dan keburukan bagi seorang Muslim adalah jatuhnya ia ke dalam dosa dan maksiat kepada Allah

Itu berarti bahwa yang dikatakan bersalaman dan menimbulkan fitnah itu jika salamannya atau jabatannya bisa melahirkan dosa, seperti karena sebab bersalaman jadi berlama-lama saling berpandangan.

Haram hukumnya bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahramnya merupakan pandangan dari ulama-ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafii. Pandangan ini juga disetujui ulama-ulama dari Mazhab Hanafi serta Hanbali.

Hanya saja para ulama Hanafi membedakan hukumnya jika yang bersalaman itu orang tua yang sudah tidak ada dan tidak menimbulkan syahwat jika bersentuhan dengan lawan jenis. Ini artinya, salaman tersebut dapat terbebas dari fitnah.

Para ulama ini menyandarkan pandangannya dengan beberapa hadits Nabi, salah satunya yang diriwayatkan Imam At-Thabrani dari sahabat Ma’qal bin Yasar. Nabi SAW bersabda: 

  عن معقل بن يسار رضي الله عنه أن رسول الله وسلم قال: أَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

“La-an yuth’ana fi ra’si ahadikum bimihyathin min hadidin khairun lahu min an yamassa imra-atan laa tahillu lahu.”

“Menusuk kepala dengan jarum dari besi, itu jauh lebih baik buat seorang Muslim di antara kalian dibandingkan jika ia bersentuhan dengan wanita yang bukan halal baginya,”.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement