Senin 19 Oct 2020 17:57 WIB

Masa Ketika Inggris tak Curiga dengan Umat Islam Abad ke-15 

Hubungan antara Kerajaan Inggris dan umat Islam pernah mesra.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Hubungan antara Kerajaan Inggris dan umat Islam pernah mesra.  Istana Buckingham di London, Inggris, Ahad (10/5).
Foto: EPA
Hubungan antara Kerajaan Inggris dan umat Islam pernah mesra. Istana Buckingham di London, Inggris, Ahad (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, Kontak dunia Islam dengan Kerajaan Inggris di bawah Ratu Elizabeth I sampai pada puncaknya. Pola hubungan tak berdasar pada kebencian dan rasa saling curiga.  

Bahkan, Gerald MacLean dan Nabil Matar dalam buku Britain and the Islamic World 1558-1713 menjelaskan, kesultanan Mughal atau Safawi, misalnya, tidak dipandang dengan tensi kebencian yang sama. 

Baca Juga

Bahkan, kekesalan Inggris terhadap Paus di Roma cenderung setimpal dengan Turki Utsmani, ketimbang dengan kesultanan-kesultanan Islam dari timur. Sebab, Paus dan Turki terlibat dalam Perang Salib, sedangkan tidak demikian halnya dengan yang belakangan tersebut itu. 

Berkat perkembangan teknologi percetakan, pelbagai pamflet dan balada tentang Perang Salib masih terus dibaca orang Inggris dalam abad ke-16 dan ke-17. 

Greg Bak dalam disertasinya untuk Dalhousie University tahun 2000 membahas hubungan Inggris dengan dunia Islam d alam periode 1575-1625. Pada zaman itu, pengaruh kekuasaan Ratu Elizabeth I begitu terasa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Inggris mendukung pemberontak-pemberontak Protestan di Eropa da ratan, utamanya Prancis, serta berseteru dengan Spanyol di lautan. 

Masalahnya kemudian, Inggris perlu menjaga lancarnya arus perdagangan dari dan menuju negerinya di atas sentimen agama. Upaya ini pun didukung dengan gaya kepemimpinan Ratu Elizabeth I yang tak terlalu ortodoks dalam soal agama.  

Selain itu, kata Bak, sejak abad ke-16 telah muncul konsep dominium atau kedaulatan kerajaan. Maknanya, ratu Inggris selaku seorang pemimpin ber agama Kristen (Protestan) dinilai berhak mengadakan aliansi dan perdagangan dengan Muslim. Bahkan, masih menurut konsep yang sama, perang melawan kesultanankesultanan yang hanya dilatari perbedaan agama tidak dapat dibenarkan. 

Oleh karena itu, Inggris sejak abad ke- 16 cenderung tanpa beban dalam me ngupayakan kerja sama dagang dan di plomasi dengan Muslim. Apalagi, usaha itu terbilang masuk akal supaya, sekali lagi, Inggris tidak kehilangan peran di Laut Tengah dan Asia. 

Selain Maroko, dalam masa Ratu Elizabeth I Inggris juga menguatkan hu bungan komersial dan politik dengan Turki Usmani. Namun, hal ini cukup kontradiktif dengan kecenderungan anti-Turki sebagai warisan Perang Salib. Agaknya, kerja sama Inggris dengan Turki lebih didasari sikap pragmatis, alih-alih ideologis. 

Bak menyebutkan, duta besar pertama Inggris untuk Turki, William Harborne, di utus ke Istanbul pada 1583. Ini meru pa kan tindak lanjut dari perjanjian dagang an tara kedua negeri itu tiga tahun se belumnya. 

Mitra dagang kedua negara, yakni Turkey Company, pada 1592 menjadi English Levant Company (ELC). Di sinilah kolaborasi antara urusan komersial dan politik dilembagakan. Dengan demikian, Harborne memiliki dua tugas sekaligus, yakni menjaga kelancaran perdagangan oleh ELC dan mempromosikan kepen tingan kerajaan Inggris. 

Salah satu target politik Ratu Elizabeth I untuk dijembatani Harborne adalah meyakinkan sultan Turki Usmani untuk berkoalisi dengan Inggris demi meng hadapi Spanyol. Sejak penyerangan Spanyol atas Inggris pada 1588, sang ratu menganggap penting persekutuan dengan negeri-negeri non-Katolik untuk menyurutkan dominasi Spanyol di laut.  

Meskipun telah berupaya maksimal, Harborne pada akhirnya gagal me wujudkan keinginan ratu. Sedikit-banyak, kegagalan ini terjadi karena Seperti disimpulkan Bak dalam disertasinya, orang Inggris mengalami ambiguitas dalam memandang orang Islam Ottoman.  

Di satu sisi, mereka masih menyimpan stereotip atau bahkan kebencian warisan Perang Salib. Namun, di sisi lain, beberapa catatan sejarah dari akhir abad ke- 16 hingga awal abad ke-17 menyiratkan bahwa perspektif sinisme ini masih lentur. Sebab, Muslim pun terkadang dipandang sebagai sesama manusia atau bahkan (bakal) sekutu Inggris, baik di bidang politik maupun niaga.  

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement