Senin 19 Oct 2020 16:27 WIB

Menyinari Kelamnya Sanaa Dengan Buku

Masyarakat Sanaa kehilangan pendidikannya.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Menyinari Kelamnya Sanaa Dengan Buku
Foto: Gulf News
Menyinari Kelamnya Sanaa Dengan Buku

REPUBLIKA.CO.ID,SANAA--Bagi masyarakat Sanaa, wilayah pusat kekuasaan kelompok milisi Houthi, mendengar suara tembakan hingga ledakan hampir setiap saat mungkin bukanlah hal yang mengagetkan. Tinggal di wilayah konflik, membuat masyarakat Sanaa, khususnya anak-anak kehilangan hak pendidikan mereka.

Fawzi al Ghoudi, melalui inisiatifnya mencoba menghidupkan kembali semangat belajar anak-anak Sanaa melalui gerakan Yaman Membaca. Melalui idenya ini, pria 30 tahun itu mulai mendirikan perpustakaan mini di seluruh kota, dimana seluruh orang dapat membaca dan meminjam buku secara cuma-cuma.

Baca Juga

Saat ditanya, Ghoudi mengatakan telah berencana menjalankan kampanye ini sejak 2013 silam, setahun sebelum milisi Al Houthi yang didukung Iran menguasai Sanaa dan memicu perang habis-habisan dengan pemerintah yang didukung oleh koalisi militer pimpinan Saudi.

Namun saat itu, banyak sukarelawan proyek melarikan diri, dan yang tertinggal hanya dirinya dan empat rekan lainnya, yang akhirnya dapat mewujudkan kampanye Yaman Membaca pada 2019, setelah mendapat izin dari Al Houthi.

 

Mereka sampai saat ini telah mendirikan lima bilik kecil dengan rak-rak penuh buku di tempat-tempat umum di Sanaa, termasuk pusat perbelanjaan.

"Dengan mendirikan stan ini, membuat orang merasa masih ada kehidupan di Yaman," kata Ghoudi yang dikutip di Gulf News, Senin (19/10).

Menurutnya, warga Sanaa telah sangat lelah dengan perang, berita pembunuhan dan perampasan yang tak ada habisnya. Konflik Yaman, yang telah memicu apa yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa digambarkan sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia, sudah memasuki tahun keenam, dengan puluhan ribu tewas dan mayoritas penduduk bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup.

Sanaa pernah menjadi salah satu pusat komersial dan budaya paling dinamis di wilayah ini, tetapi masa kejayaannya kini hanya tinggal kenangan. Al Houthi memberlakukan kode moral yang ketat, termasuk menutup kafe yang tidak mematuhi aturan pemisahan pria dan wanita, dan menegakkan pakaian sederhana.

“Negeri ini berbau mesiu ... dan perpustakaan-perpustakaan kecil ini adalah pengingat bahwa membaca tetap penting meskipun tidak lagi menjadi prioritas,” kata Mohammed Mahdi, 32, salah satu pembaca reguler.

Dia mengatakan dia menemukan salah satu stan perpustakaan tahun lalu dan sejak itu tidak berhenti meminjam buku atau mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Ghoudi mengatakan melalui donasi, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 5.000 buku dan berharap dapat membuka 10 perpustakaan lagi. Tetapi di negara dengan banyak kebutuhan mendesak, dan mengumpulkan dana yang mereka butuhkan itu sulit, kata dia.

“Orang-orang memberi tahu bahwa mereka lebih suka memberikan sumbangan untuk membantu orang-orang yang terkena dampak perang atau kelaparan,” katanya.

Namun, Ghoudi dan rekan-rekannya terus mencoba membangun proyek tersebut sebaik mungkin, dan telah menyiapkan kotak koleksi untuk buku di kios sederhana mereka. Namun mereka menghindari menerima buku-buku tentang politik dan agama, topik yang masih diperdebatkan di negara yang bermasalah itu.

Fatima Al Kathiri, 24, seorang mahasiswa, dengan senang hati mengambil bagian dalam inisiatif tersebut. “Ini adalah salah satu pengalaman terbaik saya,” katanya.

“Membaca secara umum membantu memperjelas ide dan berpikir lebih baik," sambungnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement