Senin 19 Oct 2020 01:29 WIB

Al-Azhar dan Wajah Politik Alumninya di Pilpres 2019

Al-Azhar menahbiskan diri sebagai lembaga keagamaan yang moderat, toleran, inklusif.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Nashih Nashrullah* 

Saya tidak kaget begitu melihat tayangan pertemuan Ustaz Abdus Shomad (UAS) dan calon presiden RI nomor urut 02, Prabowo Subianto, yang kemudian banyak ditafsirkan sebagai dukungan terbuka AS terhadap mantan danjen Kopassus tersebut. Ada banyak tangan dan kepentingan yang menginginkan UAS mendeklarasikan secara terbuka, kendati tak sedikit pula kalangan yang menahannya agar tak tergoda mewartakan afiliasi politiknya dalam perhelatan Pilpres 2019. Sekalipun, memang kecenderungan UAS sejak awal berada di kubu Prabowo, menurut penuturan sumber yang kuat.  Itu adalah hak konstitusional UAS.

Di sisi lain, ketika membaca arah poltik TGB M Zainul Majdi yang memutuskan berada di kubu pasangan calon capres cawapres 01. TGB sempat beberapa kali mendekat dan digadang-gadang akan berada di kubu 02, hingga akhirnya dia mengambil jalan bersama barisan Jokowi. Keputusan tersebut tak sederhana begitu saja. Apa yang diputuskan TGB bukan proses instans, sekejap mata. Di antara yang dominan tentu adalah pesan dari Grand Syekh al-Azhar, Mesir Prof Ahmad at-Thayyib, agar TGB tetap menggawangi moderasi Islam yang menjadi visi dan misi besar al-Azhar.

Alasan inilah yang membuat TGB, menurut penuturan orang dekatnya, memutuskan untuk menyatakan dukungannya kepada Jokowi. Sumber tersebut menyatakan jika Syekh al-Azhar dalam kunjungannya ke Solo, Jawa Tengah, tahun lalu berpesan kepada TBG agar berada di jalur as-sawad al-‘azham, mayoritas terbesar yang sejalan dengan ruh, nafas, dan visi-misi al-Azhar. Pesan tersebut sangat jelas.    

Saya sengaja membuka tulisan ini dengan mengambil sampel ke dua alumni al-Azhar Mesir tersebut, untuk memotret bagaimana sebenarnya garis politik al-Azhar, sebagai institusi Sunni terbesar sepanjang masa. UAS dan TGB mewakili polarisasi rupa politik para alumni al-Azhar di Indonesia. Dalam skup yang lebih besar lagi, polarisasi alumni al-Azhar dalam kedua kubu tersebut juga mengerecut melalui munculnya deklarasi massa.

Forum Silaturahim Alumni Mesir (FSAM), yang mayoritas diisi alumni al-Azhar tersebut, menyatakan dukungan mereka terhadap paslon 02. Beberapa waktu kemudian Jaringan Alumni Mesir Indonesia (JAMI), yang juga kebanyakan beranggotakan alumni al-Azhar merespons FSAM, dengan mendeklarasikan dukungan untuk paslon 01. Polarisasi dukungan alumni al-Azhar tersebut juga berlaku di level nasional. Bahwa ada satu atau dua kelompok alumni al-Azhar yang memilih netral iya, tetapi jumlah mereka sedikit.   

Kiprah politik para alumni al-Azhar memang beragam, di Indonesia, mereka aktif di berbagai partai politik dengan fatsun politik yang tak sama pula. Di PDIP ada Zuhairi Misrawi, PKS ada nama Surahman Hidayat, sementara Syaikhul Islam Ali tercatat sebagai anggota DPR-RI dari PKB, dan di Golkar ada tentu sosok TGB itu sendiri. Sekalipun tak dapat dimungkiri bahwa garis politik al-Azhar tunggal.

Dalam perkembangannya, al-Azhar menahbiskan diri sebagai lembaga keagamaan yang moderat, toleran, inklusif, dan manjalankan politik kebangsaan. Hal inilah yang mendasari al-Azhar mengambil langkah tegas berhadap-hadapan dengan kelompok-kelompok ‘ekstrimis’ (labelisasi ini sesuai persis dengan beberapa pernyataan resmi al-Azhar) seperti Salafi, Wahabi, dan Ikhwanul Muslimin.

Untuk kelompok yang terakhir ini, menurut intelektual Mesir Sa’ad al-Faqa, al-Azhar mengambil garis jelas dan tegas, tidak hanya pada level teologis tetapi juga empiris. Perseteruan antarkeduanya pun berjalan cukup lama dan selalu saja mengemuka. Al-Azhar membentengi diri dari infiltrasi yang dilakukan Ikhwanul Muslimin terhadap institusi al-Azhar. Pada 2006, saat Ahmad at-Thayyib menjabat sebagai rektor, pernah memberikan sanksi tegas terhadap sejumlah mahasiswa aktivis Ikhwanul Muslimin yang tergabung dalam Milisi Mahasiswa al-Azhar. Milisi tersebut melakukan semacam parade militer di lingkungan kampus.

Al-Azhar berhasil melakukan amandemen terhadap UU al-Azhar No 103 Tahun 1961 yang menyatakan pemilihan Syekh al-Azhar ada di tangan  presiden. UU tersebut diamandemen dengan UU No 12 Tahun 2012 yang menyebutkan Syekh al-Azhar dipilih oleh Dewan Ulama Senior al-Azhar, bukan lagi presiden. Puncak dari perseteruan tersebut, al-Azhar mendukung demonstrasi damai melawan pemerintahan Mursi, yang sementara oleh seorang tokoh Salafi Muhammad Abd al-Maqshud, demonstrasi tersebut dianggap haram dan pelakunya divonis kafir sehingga halal darahnya.

Berbicara garis politik al-Azhar dari sini jelas sudah. Komitmen al-Azhar terhadap politik kebangsaan dan konsistensi menggawangi moderasi Islam serta melawan radikalisme dan ekstremisme gamblang pada level teologis dan empiris. Lain al-Azhar lain pula kecenderungan para alumninya, tetapi saya membaca indikator kuat dari pesan mengikuti as-sawad al-a’zham yang disampaikan Syekh al-Azhar terhadap TGB, adalah indikator yang lebih dekat dengan visi-misi al-Azhar itu, untuk senantiasa mengambil sisi berseberangan dari kalangan ekstremis. Sebagai sesama alumni al-Azhar, saya pun terpanggil untuk memikul tanggungjawab serupa bersama as-sawad al-a’zham itu.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement