Sabtu 17 Oct 2020 06:13 WIB

Muhammadiyah Integrasikan Keislaman dan Keindonesiaan

Muhammadiyah selalu mengintegrasikan keislaman dan keindonesiaan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Muhammadiyah Integrasikan Keislaman dan Keindonesiaan. Foto: Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir
Foto: Ist
Muhammadiyah Integrasikan Keislaman dan Keindonesiaan. Foto: Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki peran besar dalam membentuk keindonesiaan dan kemerdekaan. Dalam setiap nafas perjuangannya, Muhammadiyah pun selalu mengintegrasikan antara keislaman dan keindonesiaan.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir mengatakan, KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri persyarikatan Muhammadiyah sudah menggagas pembaharuan sejak usianya masih 21 tahun.

Baca Juga

“Jadi Kiai Dahlan sendiri mewakili kaum muda sebenarnya, ketika mendirikan Muhammadiyah. Jadi masih millenial Kiai Dahlan itu, tapi pikirannya sudah melampui zamannya,” ujarnya saat sambutan dalam acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah bertema "Sumpah Pemuda dan Wawasan Kebangsaan Muhammadiyah", Jumat (16/10) malam.

Dalam membangun Muhammadiyah, Kiai Dahlan pun kemudian memiliki wawasan kebangsaan yang mengintegrasikan keislaman dan keindonesian. Karena itu lah, Kiai Dahlan diangkat sebagai pahlawan Nasional pada 1961.

Nah, Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan mengintegarasikan dan mempunyai wawasan keislaman yang mengindonesia,” ucapnnya.

Menurut Prof Haedar, wawasan kebangsaan seperti itu lah yang berkembang menjadi sebuah gerakan, dan bahkan melahirkan aktor-aktor keindonesiaan yang sangat penting, seperti Jenderal Sudirman, Soekarno, Fatmawati dan lain-lain.

Kemudian, lanjut dia, dimensi keislaman dan keindonesiaan itu tumbuh menjadi satu kesatuan atau dalam satu nyawa. Namun, menurut Prof Haedar, dalam perkembangannya ada juga fase di mana keislaman itu seakan-akan dipertentangkan dengan keindonesiaan.

“Di belakang hari semacam ada range dengan generasi awal, di mana keislaman itu seakan-akan ada di sebarang lain dari keindonesiaan. Padahal lahir awalnya keislaman dan keindonesiaan itu menjadi satu senyawa,” kata Prof Haedar.

Ketika Soekarno berpidato di BPUPKI pada 1 Juni 1945 misalnya, menurut Prof Haedar, Soekarno meyakinkan kelompok Islam bahwa dalam hatinya terdapat Islam. Begitu juga dengan tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo juga pernah mengatakan bahwa dirinya orang Islam tapi juga Indonesia tulen, dan ia ingin Indonesia itu makmur dan jaya.

“Di situ ada jiwa keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi baik pada Soekarno maupun pada Ki Bagus,” ucap Prof Haedar.

“Maka penting, bagi generasi muda dan millenial terutama, yang sebentar lagi akan memperingati sumpah pemuda, bahwa Muhammadiyah dan juga kelompok Islam yang lain itu mengintegrasikan keislaman dan keindonesiaan sebagai satu nafas perjuangannya,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement