Sabtu 17 Oct 2020 02:19 WIB

Ujian Kompetensi Everton Era Don Carlo

Sentuhan kerendahan hati Carlo Ancelotti di Everton mengubah semuanya

 Manajer Everton Carlo Ancelotti (kanan) menyapa James Rodriguez.
Foto: Jan Kruger / POOL/GETTY POOL
Manajer Everton Carlo Ancelotti (kanan) menyapa James Rodriguez.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*

Everton menggila, begitulah kira-kira kesimpulan saya usai menyaksikan laga demi laga the Toffes. Klub yang bermarkas di Goodison Park ini tampil impresif, bahkan saat mempecundangi Tottenham Spurs-nya Jose Mourinho di kandangnya. Memang laga melawan Spurs belum menjadi tolak ukur sebenarnya. Ujian sesungguhnya harus dihadapi Everton adalah melawan klub-klub macam Manchester United, Liverpool, Chelsea, Arsenal, dan Manchester City.

Yang pasti, saya perlu merevisi pendapat pribadi kalau Everton era David Moyes bukanlah yang terbaik di era modern. Sentuhan kerendahan hati Carlo Ancelotti mengubah semuanya. Mau menangani klub sekelas Everton bukanlah seperti Don Carlo. Sejarah klub Everton dan kisah dibaliknya mungkin jadi pertimbangan tersendiri. Semusim meracik Everton,  Don Carlo memperlihatkan permainan yang menghibur. Enggak melulu direct football-nya Moyes yang kelihatan mandek kalau Full Back-nya harus kerja keras di area sendiri. Atau Everton-nya era Roberto Martinez yang lebih mengandalkan pertahanan yang solid khas tim grade B Liga Primer.

Moyes mungkin telah mengubah wajah Everton yang tak juga pulih dari kelas modioker sejak meninggalkan era kejayaan di era 1980-an. Namun, tak satupun trofi mampir ke Goodison Park. Begitu pula ketika era berganti, mulai dari Ronald Koeman, Roberto Martinez, dan Marcos Silva. Semuanya memiliki gaya melatih yang menjanjikan tapi tidak memuaskan fan the Toffes.

Namun, kehadiran Carlo Ancelotti yang masuk dalam kategori pelatih legendaris Italia sangat memungkinkan adanya perubahan sejarah Everton. Don Carlo kenyang pengalaman menangani tim seperti AC Milan, Chelsea, Paris St Germain, Real Madrid, Bayern Muenchen dan, yang terakhir, Napoli. Jelas Don Carlo punya kualitas yang berbeda dengan pelatih Merseyside Biru Sebelumnya.

Midas Don Merseyside, begitulah fan The Toffes menyematkan julukan, pun mulai terasa. Di awal musim, Everton belum pernah kehilangan satu poin pun. Capaian ini belum pernah dialami skuad terbaik Everton dalam satu setengah abad lalu. The Toffes kokoh di belakang, atraktif di lini tengah, dan lini depannya begitu buas. Tak ayal, Dominic Calvert-Lewin yang tampil menjadi bintang, dipanggil Gareth Southgate untuk membela Tim Tiga Singa.

Saya kira, pilihan Southgate yang dikenal dengan pencipta one man one caps ini tak sembarang. Calvert-Lewin patut dicoba untuk menyiapkan pengganti Harry Kane di lini depan Inggris di masa depan. Nama Richarlison de Andrade juga perlu jadi catatan dalam skema permainan Don Carlo. Dia mirip seperti Calvert-Lewin, namun pergerakan di sayap menjadi nilai lebih pemain ini.

Figur sentral yang patut dipuji jelas James Rodriguez. Pemain asal Kolombia ini dibuang Real Madrid dan tak dipermanenkan Bayern Muenchen. Dengan modal level bermain di klub elite Eropa, banyak yang melihat karir Rodriguez sudah habis. Memilih Everton tentu menjadi simbol bahwa kemampuannya di level kompetitif sudah hilang. Ini yang sempat dicemaskan fan The Toffes. Bahasa sederhanya, tinggal "sisaan doang". Kini, Rodrigeuz telah menjadi tangan kanan Don Merseyside untuk visi, kreativitas dan pergerakan Everton.

Karenanya menarik ditunggu saat armada Don Merseyside ini meladeni musuh bebuyutan mereka, Liverpool. Laga ini menjadi kunci dari pembuka pemetaan persaingan di Liga Inggris. Leeds United, tim promosi musim lalu sudah memperlihatkan perlawanan terhadap Liverpool. Meski kalah, armada Marcelo Bielsa memperlihatkan sisi rentan pertahanan Liverpool yang dikomandani Virgil van Dijk. Intinya, laga ini akan memperlihatkan seberapa kuat daya saing Everton sebenarnya?

Pemetaan daya saing Merseyside Biru akan menjadi semacam ujian kompetensi karena Liverpool menyandang status King of Europe dan England, sementara Everton hanyalah armada yang dipimpin seorang Don. Perbandingan keduanya memang kentara. Tapi dalam satu arena lain cerita. Aston Villa yang musim lalu nyaris tersingkir dari Liga Primer malah menjungkalkan juara bertahan dalam skor mencolok. Itulah indahnya sepak bola, selalu ada cerita.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement