Jumat 16 Oct 2020 08:32 WIB

Kisah Mantan Biduan Menjemput Hidayah di Pesantren

Sebelum ajal datang, Nenek Tukiyem bertaubat dan belajar agama sungguh-sungguh.

Nenek Tukiyem saat belajar Qiroati Alquran.
Foto: Dokumentasi Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat
Nenek Tukiyem saat belajar Qiroati Alquran.

REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal 24 Agustus 2019, Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat di Desa Gedong, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, kedatangan tamu saat serombongan pengurus Dusun Kauman Desa Banyubiru datang ke pesantren untuk mengantarkan seorang nenek berusia 80 tahun. Saat diantar ke pesantren, nenek itu harus dipapah karena kesulitan menaiki gang kecil yang menghubungkan pesantren dengan jalan desa.

Sang nenek berjalan setengah membungkuk karena tulang-tulangnya yang sudah rapuh dimakan usia. Pandangannya sudah memudar, meski sudah mengenakan kaca mata tebal yang nyaris menempel di kelopak matanya. Ia harus mendekatkan pandangannya ke subjek yang ingin dilihatnya.

Meski kerut di atas kulit gelap di wajahnya, sisa-sisa kecantikan masih terlihat. Jika diamati lebih dalam, wajahnya mirip biduan India yang pernah berduet dengan Rhoma Irama; Latta Mengeskhar.

Suaranya pun masih terdengar merdu untuk ukuran wanita berusia menjelang kepala delapan. Nenek itu bernama Thalita Maharani. Ia adalah mantan biduan era 70-an yang sudah kenyang dengan panggung dan tepuk tangan. Meski mengenalkan diri sebagai Thalita, di KTP seumur hidup tertera nama pemberian orang tuanya: Tukiyem. Asli kelahiran Semarang.

Dari keterangan Pengurus Dusun Kauman yang dipimpin Pak Kadus dan Ibu Kadus lengkap dengan ketua rukun tetangga, mereka mengantarkan Nenek Tukiyem yang hidup sebatang kara setelah ditelantarkan keluarganya. Sebelum pulang, Pak Kadus dan Ibu Kadus, Pak RT dan istrinya menceritakan riwayat perempuan itu kepada Winarno, santri pertama Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat.

Mereka lalu menyerahkan Nenek Tukiyem diterima sebagai santriwati di pesantren yang dikhususkan untuk dewasa dan para lansia tersebut. Nenek Tukiyem melengkapi santri non mukim sekaligus menemani Ibu Sudarti, orang tua Winarno.

Setelah rombongan pulang, Nenek Tukiyem diajak berbincang dengan tim skrining yang terdiri dari tim medis, agamis, dan psikolog di gazebo sederhana pesantren. Nenek Tukiyem pun mengaku diusir anak tirinya setelah suaminya meninggal dunia.

"Saya terusir dari rumah suami ketiga yang meninggal tiga tahun lalu. Anak-anak tiri saya tak rela menjadi benalu tua di tengah keluarga ayah kandung mereka."

photo
Nenek Tukiyem saat belajar Qiroati Alquran. - (Dokumentasi Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat)

Nenek Tukiyem pun diusir dan dikirim ke panti jompo. Namun, Nenek Tukiyem pulang lagi dengan jalan kaki sejauh 30 Km. "Lalu saya dibiarkan tinggal tanpa diberi makan hingga akhirnya kelaparan dan meminta bantuan kepada Pak RT yang baik hati itu," ungkap Nenek Tukiyem.

Ia mengaku sangat bahagia Pak RT mau mengantarkannya ke pesantren. “Umurku iki wis tuwo kok yo ora ndang dipundut Pengeran yo (Umurku ini sudah tua tapi kok tidak segera dipanggil Allah),” katanya dengan nada jenaka tapi menyimpan pedih.

Winarno juga sempat mengajak Nenek Tukiyem berbincang. Winarno menangkap keputusasaan Nenek Tukiyem dari kalimat yang diucapkannya. “Nyawa itu milik Allah. Mau kapan diambil ya terserah Allah,” kata Winarno berusaha menghibur. “Memang Mbah siap jika besok dipanggil Malaikat Izrail?"

Nenek Tukiyem tak langsung menjawab. Tatapannya menerawang kosong seperti mencari jawaban. “Memangnya apa lagi yang mesti kutunggu?" jawab Nenek Tukiyem.

“Maksud saya, apa Mbah Tukiyem sudah punya bekal buat sangu ke akhirat?” timpal Winarno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement