Jumat 16 Oct 2020 00:04 WIB

Menantang Pemerintah

Buruh masih mempertanyakan ketidakjelasan draft yang akan ditandatangani Presiden.

Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2020).
Foto: Antara/Anis Efizudin
Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (9/10/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agus Yulianto*

Selama menjadi reporter, baru kali ini saya mendapati adanya organisasi yang mau manantang pemerintah. Namun, mohon maaf, jangan dulu menginterpretasikannya dalam hal yang negatif. Sebab dalam hal ini--menantang pemerintah--kedua belah pihak harus membicarakan 'sesuatu' dengan rasa tanggung jawab, jujur, transparan, dan tidak mencla-mencel. Dan yang terpenting tidak ada rasa dendam.

Meski 'menantang pemerintah' yang diuraikan dalam fokus ini menyangkut hal yang positif, tapi tetap saja ini merupakan hal berani. Mengapa? Karena tak dipungkiri, ketika kita menyuarakan sesuatu yang 'berseberangan' dengan kebijakan pemerintah atau hanya sekedar mengkritisi, maka siap-siap saja kita untuk 'diciduk' aparat dengan berbagai akibatnya. Banyak sudah contoh mengenai hal itu.

Hanya saja, baru-baru ini, ada kesalutan tersendiri atas sikap yang digelorkaan oleh konfederasi buruh di Tanah Air. Gegaranya adalah pengesahan Undang-undang Cipta Kerja yang diketok palu di rapat paripurna di DPR RI pada 5 Oktober lalu.

Konfederasi Buruh menilai, sampai saat ini draft yang dikatakan ada tersebut, masih simpang siur di pemerintah. Ini lah yang kemduian membuat kalangan buruh menantang balik pemerintah untuk membuktikan dan menyampaikan draft asli Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja sesuai yang sudah disahkan di rapat paripurna DPR RI tersebut.

Pemerintah dan DPR diminta untuk berkata jujur, mana draft akhir yang menjadi rujukan RUU Cipta Kerja yang disahkan di DPR. Sebab, konfederasi buruh melihat, ada beberapa poin dalam RUU Cipta Kerja yang dianggap masih simpang siur dalam penjelasan ke masyarakat dan buruh.

Salah satunya menyangkut jumlah halaman yang ada di draf RUU Cipta Kerja tersebut. Ada yang menyebut 905 halaman, kemudian bertambah 1025 halaman, dan terakhir yang sudah final 1035 halaman. Namun, pada Senin (12/10), Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan, jumlah halaman draf Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) kembali berubah dari sebelumnya 1.035 halaman kini menjadi 812 halaman.

Ini berbahaya sekali. Jelas lah, dengan adanya perubahan hingga beberapa kali setelah pertama kali disahkan itu, rakyat dibodohi, seolah meminta rakyat baca. Padahal, draft akhir yang fiks, belum ada.

Bahkan, draf yang kemarin disahkan seperti hanya mengesahkan kertas kosong. Mengapa demikian? Ini karena, dengan tidak jelasnya draft akhir RUU Cipta Kerja, maka yang mana bisa menjadi rujukannya. Di sisi lain, pemerintah sejak awal meminta masyarakat dan buruh membaca RUU tersebut, agar tidak termakan hoaks.

Ironisnya, Serikat Buruh memegang draft yang sampai saat ini masih ada sejumlah catatan. Seperti, soal upah minimum diganti dengan upah minimum bersyarat.

Kok bersyarat! Ini yang kemudian membuat Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta pemerintah jujur, kalau memang masih ada upah minimum, mengapa disebutkan upah minimum besyarat. Apa yang diinginkan pemerintah dengan istilah tersebut? Karena jangan sampai ini mengelabui buruh lagi. "Karena kata bersyarat ini tidak dikenal dalam ILO. Makna bersyarat ini apa?, apakah ini ingin mengelabui buruh," katanya.

Begitu pula soal Upah Minimum Sektoral, yang dihapuskan. Bagaimana mungkin upah pabrik baju atau sandal sama dengan upah buruh pabrik mobil. Tentu ini tidak masuk akal. Maka, tidak ada sama rasa sama rata soal upah ini.

Kemudian tentang karyawan kontrak dan PKWT disebut ada perlindungan dan ada syarat ketat. Namun kenyataannya, dokumen yang didapat tidak seperti itu.

Dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya syaratnya jelas, namun dalam RUU Cipta Kerja ini dihapuskan. Karena tidak ada batas waktu kontrak, sehingga terminnya bisa jadi berlaku seumur hidup, bukan dua tahun seperti yang diatur dalam UU lama, no.13 tahun 2003.

Yang jadi penekanan adalah waktunya, bukan syaratnya. Di UU lama ada batas kontraknya setelah lima tahun kalau bekerja baik, maka harus diangkat jadi pegawai tetap.

Namun, pada RUU anyar ini, tidak ada batas waktu kontrak, maka akan diulang-ulang dia dikontrak. Karena tidak ada batas waktu, maka bisa jadi status kontraknya seumur hidup, maka dampaknya tidak ada pengangkatan karyawan tetap.

Begitu juga soal pekerja alih daya atau outsorching, kalau di UU lama outsorching di putus kontrak perusahaan tetap wajib bayar sisa kontrak sebelum dikembalikan ke pihak ketiga atau agen outsorching. Namun, dalam Omnibus Law ini, tidak dijelaskan siapa yang akan membayar sisa kontrak.

Kemudian dijelaskan ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Persoalannya siapa yang bayar?. Tidak mungkin buruh yang membayar jaminan kehilangan pekerjaan dia sendiri.

Begitu juga soal pesangon. Dalam kesepakatan di, paripurna dikurangi dari pembayaran 32 bulan upah jadi hanya 25 bulan upah. Penjelasannya, 19 bulan upah dibayarkan oleh pemberi kerja, sedangkan 6 bulan upah dibayarkan oleh pemerintah, melalui skema di BPJS Ketenagakerjaan. Persoalannya, uangnya dari mana?.

Dari draf RUU Cipta Kerja yang dipegang kalangan buruh itu, semakin menegaskan tidak ada hal hoaks dari apa yang disampaikan buruh. Tidak ada disinformasi, tidak ada diskomunikasi dari poin-poin yang disampaikan tuntutan buruh. Tapi tidak halnya dengan yang ditudingkan oleh pemerintah yang menyebutkan ada miskkomunikasi atau hoaks dalam penyampaian RUU yang disampaikan media sosial.

Banyak pihak yang telah menyuarakan agar UU Ciptaker itu dibatalkan. Para pencari keadilan ini sudah capai dan berbusa-busa mulut mereka berbicara, tapi ternyata saran dan pandangan itu tidak pernah didengar. Maka, bila begini caranya, kita serahkan ke rakyat, terserah rakyat mau mengambil sikap apa dan melakukan apa, meski ada usulan melakukan judicial review juga.

Maka juga, sudah sepantasnya untuk menantang rezim ini berkata jujur, transparan, dan akuntabel. Demi siapakah UU Cipta Kerja ini dibuat? Semoga masih ada hati nurani dari pemegang kebijakan di negara ini untuk membela dan menyejahterakan rakyatnya sendiri. Semoga!!!

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement