Kamis 15 Oct 2020 12:19 WIB

Menyoal Pasal Pendidikan pada UU Cipta Kerja

Sebelumnya DPR telah setuju dan berjanji untuk menghilangkan seluruh pasal pendidikan

Nahda Anisa Rahma
Foto: dokpri
Nahda Anisa Rahma

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nahda Anisa Rahma*

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (5/10) menimbulkan kontroversi dan kritik yang begitu masif dari berbagai level masyarakat. Salah satu kritik yang disampaikan adalah terkait dimasukkanya klaster pendidikan dalam UU Cipta Kerja sebagaimana dicantumkan dalam Paragraf 12 Pasal 65 sebagai berikut: 

(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 

(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

 

Pencantuman pasal terkait pendidikan ini merupakan sebuah kejutan bagi praktisi dan pegiat atau aktivis pendidikan. Hal ini dikarenakan sebelumnya DPR telah setuju dan berjanji untuk menghilangkan seluruh Pasal Pendidikan dari RUU Cipta Kerja, yang dilakukan setelah mendapatkan habis-habisan.

Menurut sebuah wawancara di media, seorang anggota Badan Legislasi DPR sekaligus politikus partai Golongan Karya mengatakan alasan dimasukannya pasal terkait pendidikan ini adalah karena komitmen yang dimiliki Indonesia dalam perjanjian Internasional yaitu General Agreements of Tariff and Trade (GATT). 

Perdebatan terkait mengomersialisasi pendidikan merupakan perdebatan yang panjang dan sulit untuk dilakukan dalam konteks saat ini. Karena Pasal 65 sendiri memandatkan pengimplementasian ketentuannya agar diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Pertama-tama, menurut saya ada ketidakcocokan antara Perjanjian yang dimaksudkan oleh DPR. Negara anggota World Trade Organization (WTO) diwajibkan untuk menjadi pihak/contracting parties dalam tiga perjanjian multilateral, yaitu: (1) General Agreements on Tariffs and Trade (GATT); (2) General Agreement on Trade in Services (GATS); dan (3) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). 

Ketiga perjanjian multilateral tersebut memiliki tujuan dan mengatur substansi yang sangat berbeda. Akan tetapi, sangat dimungkinkan bagi orang awam untuk tertukar dalam mengidentifikasi GATT dan GATS. GATT, yang merupakan perjanjian yang dijadikan 'tameng' oleh DPR, adalah perjanjian yang mengatur terkait perdagangan barang internasional.  

Secara garis besar, GATT mengatur prinsip-prinsip yang wajib diterapkan oleh pemerintah ketika akan mengeluarkan kebijakan untuk mengontrol arus barang. Sementara, GATS mengatur hal terkait perdagangan internasional dari semua jenis layanan di mana ia membagi aturannya dalam tiga komponen inti dan empat mode pemasokan (mode of supply). 

Saya berargumen bahwa perjanjian yang dimaksud oleh DPR adalah GATS, dan bukan GATT, karena pendidikan adalah salah satu bentuk jasa dan bukan barang. Membedakan GATT dan GATS sangatlah penting, karena kewajiban yang mengikat antara kedua perjanjian tersebut secara prinsip berbeda. 

Tidak seperti GATT, ketentuan dalam GATS diatur jauh lebih fleksibel. Bagian Ketiga dari GATS menetapkan bahwa pihak dalam perjanjian tidak diharuskan untuk memiliki komitmen dalam ketentuan terkait prinsip “national treatment” dan “market access”. Hal ini berarti bahwa negara tunduk pada ketentuan tersebut atas dasar sukarela. 

Konsekuensinya adalah negara harus menjelaskan sektor jasa apa yang akan menjadi komitmen mereka dan harus menspesifikkan beberapa hal terkait komitmen tersebut dalam dokumen “Schedule of the Specific Commitments”.

Akan tetapi perlu diingat, karena dasarnya adalah kesukarelaan, maka negara juga memiliki pilihan untuk tidak berkomitmen sama sekali. Hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan dalam GATS yang memaksa para pihak dalam perjanjian untuk mengikat atau meliberalisasi sektor tertentu, dan suatu negara secara tak terbatas dapat memilih untuk mempertahankan suatu sektor di luar dari ruang lingkup komitmen yang ia miliki (Pierre Sauve, 2002).

DPR dalam pernyataannya tidak menjelaskan lebih lanjut terkait komitmen apa yang dimaksud yang telah dideklarasikan oleh Indonesia dalam GATS, yang mana mewajibkan pemerintah untuk meregulasi ketentuan tersebut dalam klaster pendidikan di UU Cipta Kerja. 

Untuk menjawab hal ini, maka kita perlu melihat komitmen yang telah dinyatakan Indonesia dalam dokumen “Schedule of Specific Commitments” yang dapat diakses pada situs WTO. Dari dokumen tersebut, dapat dilihat bahwa sejauh ini Indonesia hanya memiliki komitmen terhadap lima sektor jasa, yaitu jasa telekomunikasi, jasa industri, jasa transportasi, jasa tur, dan jasa finansial. 

Sehingga, kita dapat melihat bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen spesifik apapun terkait sektor jasa pendidikan. Pierre Sauve dalam penelitiannya menjelaskan bahwa GATS hanya dapat memainkan peran pelengkap yang berguna dalam mendamping dan memberikan kredibilitas yang lebih besar terhadap perubahan kebijakan yang sedang berlangsung di sektor pendidikan. Tetapi hanya jika anggota WTO memilih untuk menempatkan ketentuan GATS pada peran yang demikian, kecil kemungkinannya jika GATS menjadi kekuatan pendorong atau bahkan pertimbangan utama di balik perubahan tersebut.

Sebagai kesimpulan dari penjelasan di atas, saya mencoba berargumen bahwa tidak ada ketentuan mengikat sebagaimana yang disebut DPR sebagai “kewajiban internasional” di bawah GATS yang mewajibkan pemerintah atau DPR untuk memasukkan pasal pendidikan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 65 ke dalam UU Cipta Kerja. 

Tameng "kewajiban internasional" yang menjadi justifikasi DPR dalam pelanggaran janjinya ke pada masyarakat ini tidak valid dan merupakan sebuah pernyataan yang salah. Hal ini dikarenakan GATS sendiri memiliki sifat di mana ia hanya memainkan peran "sekunder" untuk memfasilitasi perdagangan, dalam konteks ini terkait jasa pendidikan di Indonesia. 

*Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum UGM

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement