Rabu 14 Oct 2020 22:39 WIB

Komnas HAM Dorong Jokowi Berikan Grasi untuk Terpidana Mati

Masa tunggu terpidana mati seharusnya bisa menjadi alasan kemanusiaan untuk grasi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam
Foto: Republika TV/Muhamad Rifani Wibisono
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM RI mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi atau pengampunan untuk terpidana mati. Data hingga 15 Oktober 2019, ada 271 terpidana yang sedang menunggu hukuman mati. 

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI Choirul Anam mengatakan para terpidana mati itu sudah bertahun-tahun menunggu eksekusi hukuman mati. "Bahkan ada yang masa tunggunya sudah lebih dari 20 tahun," kata dia dalam keterangannya, Rabu (14/10). 

Baca Juga

Dalam pemberian grasi, ada satu klausul yang menyatakan bahwa grasi bisa diberikan atas dasar alasan kemanusiaan. Salah satu tafsir terhadap apa yang disebut nilai kemanusiaan, yaitu bisa menggunakan deret tunggu 5 sampai 10 tahun. 

Sisi kemanusiaan tidak hanya dimaknai dari satu sisi saja seperti alasan kesehatan dan lain-lain. Namun, sisi kemanusiaan harus pula dimaknai bahwa ada perubahan pada seorang terpidana tersebut ke arah lebih baik.

Ia mengatakan Komnas HAM telah melakukan riset terkait deret tunggu terpidana mati. Dari riset yang dilakukan, masa tunggu 10 tahun sudah dirasa terlalu lama untuk terpidana mati. 

Ia mengatakan, ketika sudah menginjak 5 tahun sudah akan terlihat apakah terpidana tersebut ada perubahan atau tidak. Karena itu, ia menilai, presiden sebenarnya bisa menjadikan grasi sebagai wajah politik kemanusiaan untuk mengampuni terpidana mati. 

"Ketika ada terpidana yang mengajukan permohonan grasi, salah satu yang harus dicek adalah sudah berapa lama masa tunggu terpidana tersebut, " kata Anam. 

Ia mengatakan, pemberian grasi kepada terpidana hukuman mati diatur pada Konstitusi Republik Indonesia dan merupakan hak presiden. Apalagi, Pancasila yang merupakan dasar negara sudah sangat jelas meletakkan sisi kemanusiaan sebagai dasar negara. 

"Minimal hal tersebut bisa diperhatikan sebagai ekspresi politik kenegaraan bahwa kita semua menyelenggarakan negara dalam basis kemanusiaan,” tutur Anam.

Peneliti Imparsial Evitarossi Budiawan menilai sebagai negara hukum, perlindungan terhadap hak asasi manusia seharusnya menjadi sesuatu yang sangat penting. "Sekarang ini, grasi seharusnya sudah tidak dilihat lagi sebagai anugerah seperti di abad pertengahan dulu. Namun, harus dilihat sebagai hak terpidana. Melihat hal tersebut, seharusnya presiden bisa memberikan grasi tanpa ada permohonan pada kasus terpidana mati," ujarnya.

Menurut catatan Imparsial, dalam 5 tahun pertama pemerintahan Joko Widodo hingga September 2019,  pengadilan telah memvonis 234 orang dengan hukuman mati. Angka ini, melampaui total 197 vonis mati selama 16 tahun pemerintahan BJ Habibie hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Peredaran narkoba menjadi sumber utama vonis mati.  Selama 2019, peredaran narkoba meningkat dengan jumlah pengguna mencapai 3,6 juta orang. Total penghuni Lapas pun terus naik mencapai 224.682 orang melebihi kapasitas yang hanya 133.454 orang. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement