Rabu 14 Oct 2020 15:40 WIB

Didesak Tarik Rem, Inggris tak Berencana Karantina Nasional

PM Inggris didesak melakukan karantina nasional untuk menekan kematian Covid-19

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 Perdana Menteri Inggris Boris Johnson
Foto: AP/Leon Neal/Getty Pool
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Tenaga Kerja dan Pensiun Inggris Therese Coffey mengatakan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson belum berencana menerapkan karantina nasional total. Walaupun politisi oposisi sudah mendesaknya menarik 'rem darurat'.

"Saya tidak yakin perdana menteri ingin menerapkan karantina nasional tapi bila ilmuwan menyarankannya untuk melakukan itu, ia akan mengambil keputusan tersebut," kata Coffey pada stasiun televisi Sky News, Rabu (14/10).

Baca Juga

Ketua Partai Buruh Keir Starmer mendesak Johnson untuk menarik 'rem darurat' selama dua atau tiga pekan untuk menyelamatkan banyak nyawa. Starmer mengatakan usaha Johnson menahan laju penyebaran virus corona tidak berhasil.

Di Sky News, Coffe ditanya apakah dalam dua pekan ke depan Inggris akan menerapkan karantina nasional. "Saya tidak yakin kasusnya seperti itu tapi seperti yang sudah saya katakan hal itu adalah keputusan yang diambil perdana menteri," ujarnya.

Coffey mengatakan sistem karantina nasional tiga tahap yang diumumkan Senin lalu harusnya memberi kesempatan warga untuk bekerja. Namun surat kabar Inggris the Times melaporkan dalam laporan yang dirilis Rabu ini ilmuwan pemerintah Inggris menyarankan karantina total mulai dari 24 Oktober. Sebagai salah satu cara mengurangi angka kematian akibat virus corona pada tahun ini dari 19.900 menjadi 12.100.

"Waktu yang optimal untuk mengerem adalah sekarang, tidak ada alasan epidemiologis untuk menunda rem," tulis anggota Scientific Advisory Group for Emergencies, Graham Medley dalam laporan tersebut.

Surat kabar The Times melaporkan jika angka kasus kematian harian mencapai 200, maka rem darurat akan mengurangi jumlah angka kematian akibat virus corona tahun ini yang diprediksi 80 ribu menjadi kurang dari 40 ribu. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement