Rabu 14 Oct 2020 12:12 WIB

Kementan Perlu Tindak Tegas Perusahaan Unggas tak Taat Afkir

Ada lima kelompok perusahaan yang kontribusi afkir dininya baru mencapai 32,5 persen.

Pedagang menyiapkan ayam potong untuk pembeli di salah satu peternakan ayam di Jakarta, Rabu (23/9/2020). Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya menjaga stabilisasi harga ayam hidup di tingkat peternak.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Pedagang menyiapkan ayam potong untuk pembeli di salah satu peternakan ayam di Jakarta, Rabu (23/9/2020). Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya menjaga stabilisasi harga ayam hidup di tingkat peternak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) dan Satgas Pangan diminta menindaktegas perusahaan unggas yang tidak taat melaksanakan upaya pemangkasan produksi, salah satunya afkir dini. Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra menilai pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah belum efektif dan tidak menimbulkan efek jera karena sanksi yang tidak tegas.

Menurut dia, ada lima kelompok perusahaan yang kontribusi afkir dininya baru mencapai 32,5 persen. "Total realisasi afkir dini baru mencapai 25 persen. Terhadap kelompok perusahaan ini, sudah saatnya pemerintah dan Kepala Satgas Pangan dapat bertindak lebih tegas," kata Yeka di Jakarta, Rabu (14/10).

Baca Juga

Kementerian telah berupaya untuk menurunkan populasi livebird sehingga pada akhirnya harga ayam potong di level peternak tidak tertekan. Kementan pun telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tentang Pengurangan DOC FS Ayam Ras Melalui Cutting HE, Penyesuaian Setting HE, dan Afkir Dini PS Tahun 2020.

Yeka menilai pemerintah telah serius dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi pasokan ayam livebird.

Namun demikian, harga livebird terus tertekan dan sangat merugikan peternak. Padahal, dalam SE tersebut, perusahaan wajib melakukan pengurangan produksi bibit ayam sebesar 50 persen.

Tidak terkoreksinya kebijakan pengurangan pasokan ini dipicu oleh ketidaktaatan pelaku usaha dalam melaksanakan kebijakan pemerintah. Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, terkait pengurangan pasokan final stock (FS) ini tidak memiliki pedoman yang jelas dan tidak bisa diawasi oleh publik.

Oleh karena itu, Kementerian Pertanian dan Satgas Pangan diharapkan dapat membangun sistem transparansi yang melibatkan partisipasi publik untuk bisa memantau jalannya pengawasan. Pemantauan publik ini diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan dari peternak dan masyarakat lainnya.

"Ketiga, kami meminta Pemerintah dan Satgas Pangan segera melibatkan organisasi peternak dan membentuk mekanisme pengawasan pengurangan pasokan FS, untuk menjaga kewibawaan pemerintah," kata Yeka.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement